AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Minggu, 08 Agustus 2010

Titip Salam Buat Aem

REPUBLIKA, 03 Februari 2008. Tampak di halaman depan gambar seorang santriwati dengan jilbab modis warna pink menghias wajahnya. Ia memakai busana muslimah yang begitu pas dengan keindahan pesonanya, senyumnya mengembang tanda kebahagian dan kepuasan. Di hadapannya bukan orang sembarangan, Bapak SBY, Bapak Presiden Republik Indonesia beserta beberapa pejabat pemerintah dan beberapa wartawan, tajuk yang tertulis diatasnya berbunyi "PERTAMA, SANTRIWATI DARI INDONESIA MEMENANGKAN MEDALI EMAS DI OLIMPIADE SAINS DI AUSTRALIA."


Tema yang dibawa Koran Nasioanal itu sungguh memperhangat berita terbaru hari itu; "Seorang santriwati dari sebuah pesantren telah berhasil menorehkan sejarah perpesantrenan Indonesia, pasalnya santriwati yang berparas cantik namun masih tergolong berekonomi lemah itu berhasil mendapatkan medali emas dalam sebuah Olimpiade Sains di Australia. Santriwati yang belakangan diketahui bernama Najwa Alifia Kamal itu pun langsung diundang secara pribadi oleh Bapak presiden ke Istana Merdeka untuk menerima hadiah khusus dari Beliau dan ketua Depag serta Diknas…"

Berita utama itu juga mengutip obrolan panjang antara Najwa (Begitu ia akrab dipanggil) dengan wartawan Republika sesaat ketika soan resmi itu terselang selama lebih tiga puluh menit sambil menunggu Bapak Presiden yang sedang dalam perjalanan dari acara sosial di Sidoarjo, Jawa Timur.

Wartawan: E… Diik… Najwa ya?! Dik Najwa sungguh hebat ya… Bisakah adik menceritakan bagaimana adik bisa mencapai prestasi segemilang ini walau Dik Najwa masih sangat muda betul, padahal kan
kalau selama ini kita melihat, pendidikan di pesantren agaknya dipandang sebelah mata oleh masyarakat Indonesia.
Bagaimana menurut Dik Najwa?

Najwa: E… gimana ya Mas, saya juga belum pasti, semua ini saya rasa adalah sebuah anugerah dari Allah untuk menguji saya, apakah saya bersyukur atau malah menjadi sombong dan angkuh dengannya.

Berhenti sejenak kemudian melanjutkan… "Kalau mengenai pesantren dipandang sebelah mata oleh masyarakat Indonesia, saya juga merasa begitu sih Mas, ya mungkin karena kebanyakan pesantren di sini masih tergolong kalah bersaingg gitu, atau mungkin juga masyarakatnya asal bikin doktrin, padahal masih banyak pesantren yang mampu melahirkan siswa-siswa yang jitu dalam ilmu agama, tapi walaupun
begitu ilmu-ilmu ‘umum’ seperti Matematika, Bahasa asing dan IPA-nya pun tak kalah jitunya, contohnya pesantren saya dulu…"

Wartawan: (Masih penasaran) "Oya… mengenai pesantren Dik Najwa sendiri, nama pesantrennya apa ya Dik? Dan bagaimana sistemnya hingga bisa melahirkan santri sekapasitas Dik Najwa begini?".

Najwa kemudian terdiam dan menerawang melewati bataswaktu sekitar dua tahun silam.

Dulu dia pernah sekolah di pesantren yang sangat ia cintai. Dia begitu senang belajar ilmu-ilmu agama di pesantren itu. Pesantren itu juga merupakan pesantren yang berfasilitas cukup memadai tapi bisa dikatakan berbiaya sangat mahal. Untuk belajar di sanapun ayah Najwa harus merelakan salah satu petak tanah warisan kakek Najwa, itupun hanya cukup untuk pendaftaran dan SPP beberapa bulan belajar.

Maklum pesantren ini adalah pesantren terobosan baru abad 20-an yang mengintegralkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, jalur administrasi pendidikannya pun megikuti Diknas, tidak seperti pesantren-pesantren umumnya yang biasanya mengikuti Depag. Jadi bisa dimaklumi apabila membutuhkan tenaga dan biaya lebih dari pesantren-pesantren lain. Namun kadang kala pesantren semacam ini juga menjadi obyek strategis para bisnismen bermodal gede untuk kepentingan pribadi tanpa rasa tanggung jawab atas santri-santri yang ‘dititipkan’ dilembaga yang bersangkutan.

Ayah Najwa sangat kagum dan percaya pada pesantren tempat Najwa belajar itu. Bukan hanya
dari kuantitas dan popularitas, namun juga dari kualitas siswa didik pesantren yang sangat memuaskan.

Meskipun sebenarnya bukan seorang yang berpendidikan tinggi atau lulusan sarjana -Boro-boro lulus sarjana SMP juga belum- Ayah Najwa bisa dikatakan sangat perhatian dengan pendidikan putrinya tercinta. Ia tergolong sangat menghargai Ilmu dan kedudukannya. Ia sadar betul kalau tanah sepetak yang ia lepaskan demi pendidikan Anaknya tidak berarti apa-apa dibanding ketika anaknya bisa hafal
paling sedikit 5 juz al-quran dan belajar agama islam lebih dalam serta berakhlaq mulia. Dan mungkin juga bisa membawa dirinya yang buta agama masuk syurga. Sungguh untung yang luar biasa.

Secara gamblang Pak Yahya (begitulah ayah Najwa dikenal) sudah bisa melihat bagaimana keadaan pesantren AM dan para santrinya. Selain mereka bisa menguasai bermacam disiplin ilmu, baik intra maupun ekstrakurikuler, mereka juga mempunyai akhlak yang bagus dilingkungan yang memang sangat islami, ditambah para santri bisa menghafal Al-quran dengan sangat cepat. Mereka juga sangat menghormati guru-guru mereka. Bahkan karyawan yang bekerja di pesantren pun merasa enak bekerja di sana karena kesantunan mereka. Itulah sebabnya dia sampai merelakan sepetak tanah warisan orang tua agar anak satu-satunya itu bisa bergabung dan dititipkan di pesantren favorit itu.

Pesantren itu bernama SIT AL Muntaqo. Pesantren yang menaungi SDIT, SMPIT dan SMAIT sekligus. Usia pesantren itu masih bisa dikatakan sangat muda, baru sakitar 5 tahun lebih, seumur jagung memang, tapi walaupun demikian santri yang tercatat masuk dan belajar aktif sudah sekitar 600-an. Sungguh capaian prestasi yang lumayan bagus bagi pesantren yang terletak di Kota Kuningan Jawa Barat tersebut. Pesantren yang sudah berumuran lebih setengah abad pun masih sedikit yang bisa menambah jumlah santrinya secepat itu.

Sangat indah Najwa bernostalgia dengan kenangan masa lalunya. Namun kenangan hanya tinggal kenangan, sekarang dia hanya bisa untuk mengingatnya. ia sudah tak di AM lagi.
Sekarang yang tersisa hanyalah perasaan rindu yang tak terbendung memenuhi segenap relung hatinya. Rindu pada teman-teman dekatnya yang selalu setia dan ceria, pada kajian-kajian keagamaan yang selalu disukainya, pada speaking atau Muhadatsah yang selalu membuatnya happy karena harus cas-cis-cus dan ber-na’am-na’am pagi-pagi dilapangan serba guna, dan pada seseorang yang selalu memberikannya inspirasi hidup, yang selalu menenangkannya ketika sedang labil, selalu menemaninya dalam setiap keadaan dan selalu menginginkan kesenangan dan keceriaannya, Pak Gimi. Wali kelas sekaligus guru favoritnya.

Ahaai…! Andai saja ada Neila, anggi, Nisa dan Yuli. andai saja pak Gimi tau! Huuh… AM… How are U, Oh wind, say salam to Them, to AM…! " Gumamnya.

Wartawan (Mengakhiri masa penantian jawaban): "Maaf Dik!".
Najwa Alifia tersadar. dan tanya jawab mengalir kembali setelah sesaat terhenti dengan lamunan
Najwa tadi.

Najwa: "Ups! maaf Mas, jadi ngelamun. Hihiy… " (tersentak dan sepontan meneruskan jawabannya kembali sambil mengatur duduknya.
"Eem! E… Sebenarnya saya sudah tidak di pesantren lagi sih Mas, dan mungkin agak lucu kalau saya pada awalnya mengaku sebagai seorang santriwati tapi saya sudah lebih satu tahun tidak ‘ngaji’ kitab dan tinggal di Pesantren, namun saya tidak bohong lho Mas, soalnya saya kan pernah nyantri juga, tiga tahun lhoo…".
Najwa Alifia tersenyum membuat beberapa wartawan disekitarnya tersihir dengan lesung pipit dan giginya yang putih indah tersusun. Sungguh anggun.

Wartawan: "Maksud Dik Najwa, Dik Najwa sudah keluar dari pesantren?! Lalu kenapa Dik Najwa masih mengaku sebagai seorang santri? Apa Dik Najwa bermaksud mengesampingkan Sekolah yang sekarang?" Tanya wartawan itu lagi menyelidik.

Najwa: "Tidak, tidak! Bukan maksud saya ingin mengesampingkan sekolah saya yang sekarang, malah karena sekolah yang sekaranglah saya bisa wawancara dengan Mas-mas disini, saya juga sudah
menjelaskan sebelumnya tentang hal itu, Hanya saja saya tidak bisa mengingkari bahwa keberadaan saya disini juga tak luput dari andil pesantren tempat saya dulu belajar, namanya Al Muntaqo, tepatnya SMPIT Al Muntaqo." kelihatan serius tapi santai.

Najwa: "Saya tidak bisa melupakan Pesantren itu Mas, juga setiap kenangan saya di sana. Kenangannya sungguh berharga. Kenangan yang bisa menbuat saya ingin tertawa sepuasnya karena sangat menggelikan, kenangan yang selalu membuat saya bersemangat, kenangan yang bisa membuat saya ingin diam tak ingin berkata karena tidak tahu apa yang harus saya katakan, kenangan yang akan membuat saya ingin menangis sejadi-jadinya karena kesedihan yang mengiris-iris hati, kenangan yang menjadikan saya seakan-akan masih berada di sana meski sudah lama sekali tidak kesana. Samuanya masih saya ingat… hingga hari terakhir, atau bahkan detik terakhir saya meninggalkan pesantren. Kenangan itu juga tiba-tiba menjadi sumber motivasi dan inspirasi hidup saya hingga sekarang. Itulah sebabnya mengapa saya membawa nama pesantren bersama setiap prestasi saya selama ini…"

Wartawan: "Hmm…" Sambil ngangguk-ngangguk.

Wartawan: "Bisakah Dik Najwa menceritakan sekilas kenangan-kenangan yang kata Dik Najwa tidak bisa dilupakan selama di… mana?! Al Multaqo ya?"

Najwa: (Tersenyum lagi tapi tetep serius) "Wah! Banyak sekali Mas, rasanya tidak mungkin saya ceritakan sekarang, mungkin lain kali saya ceritakan, tapi bukan wawancara lagi, bisa jadi akan berbentuk buku harian, atau bentuk tulisan lainnya. Hitung-hitung mengembangkan hobi dan bakat, Tunggu saja. Tapi kalau Mas penasaran mungkin saya akan men-ceritakan kenangan yang paling tidak bisa saya lupakan, kenangan pahit sih, tapi kenangan itulah yang justru menjadi motivasi bagi saya, bagaikan "pecut’ bagi sapi atau kuda yang mulai lamban bekerja, kenangan itu mendorong saya terus dan terus…"
"Ceritanya begini… "

Tiba-tiba wawancara menjadi panjang dipenuhi perasaan haru serta kekaguman yang mengaduk–aduk perasaan segenap orang yang mendengarkan cerita Najwa. Tidak disangka siswi yang baru akan naik ke kelas 3 IPA SMA Al-Islam Cirebon itu mampu menguasai ruangan yang hampir seluruh penghuninya merupakan orang-orang bersafari dan berdasi, lagi-lagi Kepala Dinas Diknas dan Depag pun harus mengakui akan nilai lebih dari gadis kelahiran Cirebon, 27 Mei 1991 itu. Juga akan kegigihan seorang ayah yang telah mendidiknya sejak kecil dan kebetulan juga bisa hadir dalam undangan resmi kenegaraan tersebut. Keriput ayah separuh baya itu sudah tampak walaupun sekilas tertutup dengan kebahagiaan dan kebanggaan akan prestasi yang diraih putrinya. Jerih payah dan harapannya.

Wartawan yang meliput berita itu pun sepertinya tidak mau melewatkan moment tersebut. Wartawan
yang belakangan dikenal bernama Igoz (diketahui setelah berita itu termuat dengan nama wartawan yang meliputnya di akhir berita, "By: Igoz") itu sepertinya sangat tertarik untuk menyebarkan cerita Najwa hingga harus menghabiskan beberapa kolom di halaman selanjutnya. Untuk cerita Najwa…

Najwa adalah santriwati yang sejak dulu memang berkompeten dalam bidang disiplin ilmu. Keterhalangannya dalam hal materi tidak menghalanginya untuk lebih unggul dari teman-teman sesekolah di AM yang mayoritas memang mempunyai MODAL belajar yang bisa di bilang lebih dari cukup.

Selama Najwa di AM, semua waktu yang ada dia gunakan untuk membaca. Di lapangan,masjid, sekolah dan lebih-lebih di kamar. Waktu-waktunya pun lebih banyak di Perpus. Hafalan dan Tahsin Najwa pun tak penah mendapat nilai kurang dari sembilan atau delapan. Organisasi dia pun OK, hingga ia pernah manjabat Ketua OSMA pusat akhwat pertama di sana, Bukan karena apa, tapi karena wawasan dan keilmuannya yang memang melebihi yang lain. Ia suka IPA dan Matematika tapi ia bagus pula di Bahasa dan Tahsin-Tahfidznya. Ia sudah bisa menghafal sampai 6 Juz dalam setahun.

Kelebihan yang terlihat dari Najwa dari pada temannya cuma satu. Dan itulah kunci suksesnya, ia sangat pandai mengatur dan membagi waktunya. Ia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu luangnya. Dan memang begitulah pesan dari ayahnya tercinta.
Tapi materi pulalah yang menghalangi Najwa untuk tetap belajar di AM. Namun tak menghalanginya untuk terus belajar. Najwa tidak bisa melanjutkan ke Tingkat SMA di AM karena biaya yang diperlukan sangat tinggi dan ia tidak dapat memenuhinya. Terpksa ia harus meninggalkan pesantren dan teman-teman tercintanya.
Sebelumnya Najwa sudah berusaha untuk bertahan untuk terus belajar di AM. Sejak dia lulus tingkat SMP dengan nilai yang lumayan bagus, ia harus rela melamar belajar tahfidz dan mengajar adik kelas sambil belajar “gratis” serta gaji 20.000 perbulan. Untuk jajan, itupun ia tabung untuk keperluan sekolah.

Namun semua itu pun tak bertahan lama, selang berapa bulan ia dalam keadaan seperti itu, akhirnya ia keluar pula dari pesantren yang sangat ia cinta itu. Dengan sangat tidak terhormat, sangat terhina.

Najwa dituduh mencuri Hand phone Musyrif (Pembimbing) asramanya, Ustadzah Afifah.
Orang yang sangat dihormatinya karena sudah menghafal 30 juz Al-Quran. hingga akhirnya ia pun harus rela dan terpaksa keluar walaupun tidak terbukti mencuri atau bahkan terbukti tidak bersalah dengan alasan untuk menyelamatkan prestise Yayasan yang sudah terlanjur menggembar-gemborkan keprofesionalannya dalam mengelola Pesantren. Masa masalah maling saja tidak bisa mengatasi? Begitulah landasannya… jadilah Najwa yang pas-pasan sebagai kambing hitam, walaupun 'bulu'nya begitu putih suci atas alasan KETEGASAN… Ketegasan memang ketegasan, tetapi apakah ketegasan pernah menyalahkan orang yang tak bersalah, sungguh ironis. Namun begitu, hati lembut Najwa tetap lembut, kekecewaan yang amat sangat itu tak dapat mengalahkan kecintaannya pada AM, segenap sahabat dan pak Gimi.
Sebenarnya ada orang lain yang hendak mengkambing hitamkan Najwa atas kepentingan pribadi, teman sekamar Najwa sendiri di Rayon Orchid dulu. Naima Anggita. Naima, teman sekamar Najwa yang senang sama Alfin Maulana namun di waktu yang sama idolanya itu tertarik sama Najwa. maka, timbullah niat jelek Naima untuk mengkambing hitamkan Najwa agar mengalihkan perasaan Alfin yang ternyata juga termakan fitnah yang di tuduhkan teman sekamar najwa sendiri. Berhasillah dia menyingkirkan saingannya dan sekaligus menyembunyikan kejelekannya kala itu. Namun serapi-rapinya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium pula baunya, cepat atau lambat.
Hingga Allah berkehendak menampakkan segala kejelekannya dan terjadilah peristiwa yang tidak terduga itu, dan terungkaplah semua peristiwa terselubung yang selama ini mengusik ketenangan suasana pesantren yang tenang dan sejuk.
Tertulis di akhir wawancara sekaligus penutup berita di halaman itu :
Najwa: "Mas bisa minta tolong untuk yang terakhir gak? tolong ini dituliskan juga dalam berita yang diliput Mas ya, saya titip salam buat AM lewat berita ini, untuk teman-teman yang saya cintai, dan seseorang yang paling spesial buat saya, Pak Gimi Ramadan. I’ll Never forget u all N My unforgoten memories Whit u when I was in AM. aku harap kita bertemu lagi di lain waktu….

Begitulah berita membanggakan dengan salam Rindu Najwa itu termuat. Tidak hanya membanggakan Pak Yahya, ayah Najwa dan Najwa sendiri, tapi juga membanggakan yang menulis berita, penerbit Koran itu, segenap pembaca, Indonesia, Bapak Presiden, DEPAG dan DIKNAS, segenap teman-teman di
AM, AM sendiri, dan…Pak Gimi. “Selamat wahai bunga cantikku! teruslah harum semerbak menebarkan keharumanmu yang khas,,, hingga semua merasakan kebanggaan karenamu…

Tampak di pojok kanan koran yang sama tertulis berita kecil: "Seorang santriwati sebuah pesantren elite diciduk polisi karena telah mencuri baju di sebuah rumah di perumahan para ustadz di pesantren yang
bersangkutan.Diketahui santri wati itu berinisial NA…"

By IGoz, Finished on
Thursday, 06 March 08, AM, Kuningan.

catatan: cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan tempat dan tokoh maka jangan salahkan penulis. hihhiy.

bunga yang mewangi tetaplah wangi walau tumbuh di kumpulan sampah sekalipun....
dimanapun kita berada, hanya kebaikan yang kita tebarkan, walau sekeliling kita hanyalah sampa yang berbau busuk....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan isi komentar antum antunna di sini: