AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Selasa, 13 Oktober 2020

Saya Seorang Hanafi, Sedang Rasulullah Syafi'i dan Allah Maliki

Sebelum pembaca yang budiman melanjutkan, mohon kiranya untuk menenangkan hati dan menjernihkan fikiran sehingga lebih berhati - hati dalam menyimpulkan judul di atas. Syukur alhamdulillah jika pembaca sudah dapat memahami maksudnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan membaca karena anda tidak perlu membuang - buang waktu anda yang sangat berharga untuk membaca tulisan yang sangat sederhana ini. Namun jika anda masih penasaran, marilah kita lanjutkan dengan Bismillahirrahmanirrahim.
 
Sebagai seorang Maduranian, masih segar dalam ingatan saya bagaimana kerasnya 'perbedaan' antara NU dan Muhammadiyah. Dibesarkan oleh keluarga NU, saya pribadi yang saat itu baru mau beranjak dewasa dan masih sangat awam tentang islam merasa bahwa perbedaan cara pandang sebagian pengikut kedua organisasi ini seakan sudah menjadi perbedaan ideologis. Tidak heran jika sampai ada yang mengarang sebuah anekdot bahwa di Mudara yang mayoritas NU, 98 % nya adalah orang lslam dan 2% nya adalah Muhammadiyah. 

Meskipun anekdot tersebut hanya karangan belaka, dan yang pasti juga jumlah persentase yang disebutkan sama sekali tidak akurat, namun begitulah sebenarnya gambaran kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat awam Madura pada umumnya. Perbedaan pemahaman tentang lslam dari kedua organisasi ini sudah semakin jauh sehingga 'keretakan' pada umat yang tampak seakan hanya sebuah garis halus di permukaan, namun yang terjadi di dalamnya adalah jurang pemisah yang mengkotak - kotakkan. 

Mengapa saya menyimpulkan demikian, karena apa yang saya alami ketika baru mengenal adanya beberapa perbedaan dari dua organisasi ini memanglah demikian adanya. Bisa dibayangkan bagaimana saya yang masih belia dalam belajar ketika itu merasa orang yang tidak qunut subuh, shalat subuhnya tidak sah dan tidak diterima. Atau orang yang tidak tahlilan adalah orang fasiq, buruk atau setidaknya pemalas dalam beragama atau orang yang hari rayanya duluan puasa ramadhannya selama sebulan sia - sia. Dan perbedaan - perbedaan lainnya yang semua itu hanya bersifat perbedaan fiqih dan furu'iyah saja. 

Semakin lama belajar, ternyata saya malah menemukan bahwa dalam agama kita yang hanif ini bukan hanya ada NU dan Muhammadiyah. Ada begitu banyak gerakan dan organisasi yang semuanya berintima' atau berafiliasi pada Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang pada awalnya saya pahami hanya dimiliki oleh warga Nahdhiyin. 

Dan yang lebih menariknya lagi, semua gerakan dan organisasi itu bermuara pada perbedaan 4 mazhab besar Ahlu Sunnah Wal Jamaah; Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali yang rupanya nama - nama para imam madzhabnya sudah sangat familiar di telinga saya sejak saya duduk di sekolah tingkat menengah pertama. 

Di fase inilah saya baru memahami bahwa 'perseteruan' antara NU dan Muhammadiyah ini hanyalah sebuah riak kecil dari riak - riak yang ada pada hamparan agama yang syamil-mutakamil ini. Riak - riak itu rupanya juga terkotak - kotakkan. Mulai dari ranah fiqih, siyasah, dakwah, bahkan hingga akidah. Bukan hanya terjadi pada orang - orang awam seperti saya saja, namun juga pada para ulamanya. Bukan hanya akar rumput dan pengikut bawah saja, namun juga para pemimpin dan pembesarnya. Mirisnya lagi, seakan semua riak itu terbiarkan begitu saja sehingga umat yang sebenarnya besar ini begitu mudah diombang ambingkan bagai buih di lautan sebagaimana diisyaratkan Rasul saw. 

Jangankan mau maju dan berkembang memimpin dunia seperti sedia kala, menjaga agama dan umat dalam harmoni dan kesatuan saja kita masih belum bisa. Padahal jika umat ini bersatu, riak - riak kecil itu bisa menjadi gelombang yang dapat meninggikan derajatnya dan menenggelamkan musuh - musuhnya.

Begitulah teorinya. Sekali lagi itu hanya teori. Di mana - mana memang begitu. Umat lain pun jika bersatu akan bisa mengalahkan umat yang bercerai - berai. Pertanyaannya, siapakah yang lebih pantas dan seharusnya bersatu? Bukankah hanya agama kitalah yang Allah ridhai? Bukankah hanya agama inilah yang paling sempurna mencakup segala aspek kehidupan? Bukankah, bukankah, bukankah? Masalahnya maukah kita bersatu? 

Tidakkah sudah saatnya kita menyadari bahwa riak - riak perbedaan di tubuh umat ini adalah unsur yang menandakan bahwa umat ini masih hidup dan suatu saat ia akan menjadi gelombang besar yang akan memimpin dunia? Bukankah sudah saat nya kita mengajarkan pada generasi penerus kita untuk memahami lebih dini tentang madzhab - madzhab dan perbedaan - perbedaan cara pandang yang ada pada umat ini sehingga mereka bisa lebih siap untuk saling tolong-menolong dalam hal yang disepakati dan saling memahami serta bertoleransi dalam perbedaan - perbedaan. 

Judul di atas adalah sepotong ilmu yang baru saja saya dapatkan dari seorang supir taksi yang mengantarkan saya pulang-pergi dari Mekkah ke Jeddah karena urusan pekerjaan. 

Supir taksi Pakistani yang saya panggil Arshad Bhai ini tiba - tiba bertanya di sela - sela obrolan kami sepanjang Mekkah - Jeddah, 'Anta Hambali, wa la Maliki, wa la Syafii?' tanyanya menelisik. 'Ana Syafii.' Jawab saya singkat dan penuh keyakinan. Saya pikir pertanyaan itu akan berlanjut pada pembahasan perbedaan antar madzhab, atau kenapa saya syafii, atau siapa atau madzhab apa yang lebih baik di antara 4 madzhab yang ada. Namun ternyata dia malah mengatakan sebuah kalimat yang saya jadikan judul di atas. 'ANA HANAFl, RASULULLAH SYAFll, DAN ALLAH MALlKl'. Terang Arshad Bhai lebih yakin dan tegas dari saya. Saya pun mengernyitkan dahi mencoba memahami dan mengeja kata per kata. Hasilnya nihil bahkan salah memahami. Arshad Bhai kedua kalinya menegaskan kalimat itu dan menantang saya untuk memahaminya selama 5 menit. Tapi saya menyerah dalam 3 menit pada rasa penasaran dan keingin tahuan tentang apa yang ada di balik kalimat itu. 

Tanpa menunggu hingga 5 menit, Arshad Bhai yang ternyata adalah lulusan Magister Fakultas Syariah di Ummul Qura itu akhirnya menjelaskan;
 
'Saya adalah hanafi karena saya muslim. Sebab lslam adalah agama hanifan; yang hanif. Bukankah kita selalu membacanya setiap shalat setelah takbiratul ihram?' sampai di sinilah baru saya tersentak dan memahami seluruh maksud dari kalimat itu. 'Rasul adalah syafi'i' artinya pemberi syafaat saya, dan Allah Maliki artinya Allahlah Malik saya serta alam semesta. 

Saat itulah saya menyadari, begitu dalamnya perbedaan - perbedaan itu tertanam di alam bawah sadar saya hingga semua itu melupakan saya akan 3 hal itulah yang sebenarnya telah lama menyatukan umat ini dalam segala perbedaan di dalamnya; lslam, Rasul, dan Rabb kita. 

Saya meyakini masih sedikit juga yang menyadari semua itu hingga saat ini, oleh karena itu saya berinisiatif untuk menuliskannya dalam tulisan singkat ini. Jika pembaca sekalian merasa beristifadah atau mengambil manfaat dari tulisan ala kadarnya ini, mohon kesudiannya untuk menyelipkan doa baik untuk Arshad Bhai dan keluarga, serta menyebarkannya jika dirasa layak dan diperlukan. 

Sekiranya sekian saya cukupkan tulisan ini semoga bermanfaat. Yang benar datang hanya dari Allah dan yang salah dari saya pribadi. 

lMAM GAZALl

MAKKAH - 28 Sept 2020
sile bace lengkapnye >>