AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Selasa, 17 November 2009

Di Balik Kegelapan Mobil Travel Kuningan-Jakarta.


Pagi ini, tinggal aku, pak supir dan seorang penumpang lagi yang tidak aku kenal. Seorang cewek muda yang dari celah-celah cahaya lampu jalan raya aku dapat melihat keremajaan dan kecantikannya. Tidak terlalu cantik memang, tapi tidak layak untuk dikatakan jelek.
Kami menuju arah Kebayoran. Semalaman kami melewati jalur pantura yang sedang senggang. Tadi malam kami berangkat dari Kuningan - Jawa Barat kira-kira jam 20.00 kurang. Sekarang sudah jam 03.00, lebih cepat dari yang dijadwalkan pihak travel yang menjadwalkan kami akan sampai jam 04.00. Mataku sudah kembali lelah mengawasi laju mobil yang melintas di bawah temaram kuning lampu jalan raya di jalur pondok kelapa ini. Ternyata Jakarta kelihatan lebih indah jika tanpa keramaian dan kemacetan. Seperti pagi ini. Baru beberapa menit sebelumnya aku terbangun setelah ‘hilang ingatan’ sejak dari Indramayu tadi. Uh, ingin rasanya aku sekarang sudah di Ma’had dan merebah di kasur springbat di kamar khirrijiin[1]. Uh, enaknya….
Aku kira supir travel ini mau ketempatku terlebih dahulu.
“Kebayorannya di mana mas?” Tanya supir itu seolah akan mengantarkan aku terlebih dahulu. Kalau mau ingat waktu mau berangkat tadi, sepertinya memang aku dulu yang harus diantarkan. Soalnya aku memang bukan penumpang terakhir dari travel ini. Memang seharusnya aku duluan. Yang dahulu tetap harus didahulukan. Ditambah jarak kami berada sekarang juga sudah sangat dekat dengan tempat tujuanku.
“Jl. Seha 2 pak, gang limo dari pasar Kebayoran ikut jalur 09.” Jawabku setengan girang menjawab pertanyaan palsu itu. Setelahnya, tidak ada lagi percakapan antara kami kecuali ketika supir itu menanyakan alamat tujuanku lagi. Kelak, di akhir perjalanan menjengkelkan ini.
Andaikan cewek itu memiliki alasan syar’i yang menjadikannya pantas untuk kami dahulukan, -mengingat aku bukan penumpang terakhir dari travel ini, juga jarak kami sekarang lebih dekat ke tempat tujuanku, dan kelihatannya dia juga tidak terburu-buru, ditambah aku yakin supir kolot itu tidak menganut paham orang-orang Inggris yang selalu mengutamakan wanita-, dan andaikan ketika di depan rumahnya aku tidak melihat pemandangan yang membuatku jijik itu, pemandangan yang semakin menyulut kekesalanku menjadi bara kemarahan, tentu aku tidak akan mau membuang-buang waktu dengan mempermasalahkan semua ini. Tapi, kata ‘andaikan’ memang kebanyakan digunakan untuk makna sebaliknya. Huh! Betapa sialnya hari ini…
Seharusnya detik ini aku sudah mulai melepaskan diri dari siksa perjalanan ini. Tapi supir tidak berdedikasi ini sepertinya ‘masa bodo’ dengan perasaan dan kelelahanku. Dia malah mengambil jalan ke kiri dan membelok ke arah Cipulir walaupun sudah sampai di pasar Kebayoran. Sungguh sangat tidak bisa diterima akal sehat –jujur, waktu itu walaupun akalku sehat tapi sudah sangat kecapaian, jadi tidak sepenuhnya sehat. Yang sehat aja sudah tidak dapat menerima, apalagi yang kurang sehat. Gitu maksudnya-, supir ‘kerdil’ (maaf, kata ini mewakili kekesalanku yang sudah berwujud kemarahan) ini lebih mengutamakan penumpang yang tempat tujuannya lebih jauh dari tempat tujuanku yang tinggal 10 menitan lagi. Lebih 30 menitan kami meluncur setelah keluar dari keramain pasar malam Kebayoran Lama ke arah Cipulir.
Setelah melaju kira-kira 45 menitan barulah kami sampai di depan rumah sepi itu. Rumah yang tidak besar tapi bersusun. Di depannya terpampang baligho iklan salah satu produk perawatan rambut dan wajah. Tampak dari depan rumah itu jelas merupakan salon kecantikan kecil-kecilan. Cewek itu pun turun dari mobil dan mengambil barang-barangnya di jok belakang. Seperti halnya penumpang-penumpang sebelumnya, supir travel juga turun untuk mengambilkan barang-baran cewek itu. Hanya saja sekarang pemandangan yang aku lihat berbeda dari sebelumnya… ganjil… (kali ini aku malu untuk merasa memahami keadaan yang aku lihat.).
Pada mulanya aku perhatikan tidak ada hal-hal yang mencurigakan dilakukan cewek tak berkerudung ini dengan pak supir, malah seakan-akan sopir ini tidak mengenali cewek yang menurutku masih SMA atau mungkin baru masuk tahun pertama kuliah ini. Tapi aku terkejut melihat pemandangan ‘ganjil’ yang tidak aku inginkan itu dari balik kaca mobil travel yang gelap. Setelah membuka pintu pagar depan rumah, Cewek cantik itu memegang bagian belakang kepala supir yang menurutku pantas jadi ayahnya itu, lalu mencodongkan tubuhnya dan mencium lelaki paruh baya itu. Tepat di mulutnya. “Astaghfirullh!!” pekikku lirih dan mencoba tidak percaya apa yang telah aku lihat. Sungguh akal sehatku tidak dapat menerima pemandangan menjijikkan itu. Di sisi lain kekesalanku juga sudah mulai berubah kemarahan, jelas Kecapean yang aku rasakan menghalangiku berpikir jernih lebih lama lagi.
Pikiranku kembali menerawang dan mencoba menganalisa. Mungkinkah dia kakaknya? Atau ayahnya? Atau suaminya? Sangkalku pada diri sendiri mencoba berbaik sangka. Akan tetapi semua usahaku berhusnudzon itu terbantahkan hanya dengan satu kenyataan sebelumnya. Dari tadi pak supir sepertinya tidak mengenali cewek itu. Bahkan pak supir berulangkali menanyakan alamat dengan memanggil neng pada cewek itu. “di mana neng?”, “habis ini ke arah mana neng?”, “beloknya di jalan apa neng?” atau “di dieu neng nya’.” tanyanya sesekali dengan bahasa sunda. Si eneng juga kayaknya mengerti isyarat licik itu. Huh, Picik betul dia, memangnya aku bodoh?! Dasar otak sempit!!
Jika benar bagitu maka aku hanya akan teringat anekdot kepanjangan ‘supir’ yang sering aku dengar belakangan ini, dasar supir, alias ‘suka mampir’!!!. Begitulah ungkapan itu terngiang dibenakku.
Apakah supir itu tidak berfikir kalau aku juga memiliki sepasang mata yang melihat mereka? Biarpun gelap, aku dapat dengan jelas melihat bayangan mereka ciuman di balik kaca mobil. Bahkan aku melihat cewek itu menoleh kearahku seakan merasa tidak enak jika aku melihat perbuatan mereka.
Apakah supir itu juga tidak merasa bahwa selain aku juga ada Dzat yang senantiasa mengawasi dan memparhitungkan perbuatannya? Mungkin aku tidak akan melihat adegan itu lagi di lain kesempatan, dan memang aku juga tidak berniat menggunakan travel ini lagi setelah semua ini, tapi Allah swt. yang Maha melihat tidak akan pernah terluput atau terlupa akan setiap apa yang dia lakukan. Kemudian membalasnya dengan ancaman yang sudah diperingatkanNya kepada segenap manusia. SiksaNya yang teramat pedih tidak akan ditimpakan kepada orang baik lagi shaleh.
Aku kira setelah ciuman supir gak tau malu itu akan kembali masuk ke mobil dan meneruskan perjalanan mengantarkanku ke An Nu’aimy, akan tetapi sangkaanku kembali meleset. Sang supir malah ikut naik ke lantai atas bersama cewek murahan itu dengan alasan membawakan barang yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan pada beberapa penumpang lainnya. Entah berapa menit aku menunggu dengan hati mendongkol di mobil travel jelek dan gelap ini hingga akhirnya supir itu turun dan masuk ke mobil.
Sekarang sudah jam 04.10. aku dan pak supir baru saja keluar dari gang tempat cewek tadi tinggal. Tidak tahu di mana tepatnya kami berada. Yang jelas daerah ini asing bagiku. Aku kira di sini juga bukan Cipulir. Mobil terus melaju sedangkan sang supir itu sepertinya sengaja membisu. Tak sepatah kata pun ia ucapkan lagi kepadaku setelah tadi pura-pura menanyakan tempat tujuanku. Barangkali dia masih punya malu. Ah!! Bagaimanapun malunya dia, pasti dia merasa ini akan berlalu. Aku pun sengaja membisu. Menerka-nerka kalimat apa yang akan keluar lagi dari mulut pembohong ini kepadaku.
Beberapa saat kemudian, di depan sana sudah ada pertigaan yang masing senggang. Hanya satu atau dua mobil mewah yang telihat disekitar. Mobil-mobil itu sudah barang tentu sengaja berangkat awal untuk menghindari kemacetan lalu-lintas Jakarta yang melegenda. Bagi mereka terlambat 10 menit karena terjebak macet adalah kerugian yang sangat besar di dunia ini. Bagi mereka 10 menit berarti 10 jt atau malah lebih. Time is money. Begitulah ungkapan yang tepat bagi mereka. Shalat subuh sudah barang tentu tidak menjadi kerugian lagi bagi mereka. Mana mungkin mereka shalat. Sekarang saja belum subuh, sesampainya di kantor mereka tidak akan sempat lagi untuk pergi ke tempat wudu’ atau shalat subuh dua rakaat. Itu Cuma buang-buang waktu saja.
Pak supir mengambil jalur ke kiri. Saya coba mengingat-ngingat. Perasaan tadi setelah keluar dari pasar Kebayoran mobil ini tidak pernah belok kanan di pertigaan. Lewat mana lagi ini. Pikiranku bertanya-tanya curiga dan tak mengerti. Aku lihat di depan semakin gelap karena rumah-rumah yang mulai jarang disepanjang jalur ini. Kuberanikan diri mengakhiri ritual keep silent yang sangat aku benci sedari tadi ini dan bertanya kepada pak supir.
“Lewat mana lagi ini pak.” Tanyaku lembut mencoba berkompromi.
Sungguh tidak seperti yang kukira sebelumnya. Pak supir bukannya menjawab, malah dia mencoba untuk mempercepat laju mobil rongsok itu seakan tidak mendengar pertanyaanku. Huh!! Apa yang ada dibenak sopir brengsek ini. Kalau dia mencoba mencari masalah, dia akan tahu dengan siapa dia akan berhadapan. Lihat saja nanti. Biarpun cuma dua tahun, dulu aku juga pernah menimba ilmu bela diri di kampong sana, Madura.
Aku mulai mengingat beberapa jurus yang sudah mulai aku lupakan karena sudah lama tidak di gunakan. Terakhir aku ingat pernah menggunakannya ketika mau dikompas beberapa anak brandal kacangan di sebuah gang kosong di daerah pasar minggu sekitar 3 tahunan yang lalu. Hehe, lumayan membuat mereka seidik terkejut walaupun aku juga hampir babak belur karena mereka main kroyokan, untung ada kakak seniorku yang juga dari Madura melintas di tempat itu dan preman-preman kecil itu pun melarikan diri karenanya.
Sekarang aku pikir kalaupun akan terjadi hal yang serupa, kalau satu lawan satu aku yakin dapat bertahan walaupun badan supir ini lebih kekar. “Kita coba nanti.” Pikirku.
Tiba-tiba mobil berhenti di sebuah pertigaan yang sangat sepi.  Tak terlihat satu mobil pun atau kendaraan lainnya yang melintas. Pikiranku mencoba bersiaga. “Disinikah?!” gumamku dalam hati. Akan tetapi, ternyata pak supir bertanya,
“kemana neh?!” katanya dengan nada setengah tinggi seperti nada orang setengah marah.
Aku juga masih curiga dengan perilaku supir ini. Jangan-jangan dia bertanya hanya untuk menciutkan nyaliku atau untuk melihat kesiapan mentalku. Guru bela diriku pernah bilang, ‘bagaimanpun hebatnya seorang pendekar, kalau mental bertarungnya sudah kalah duluan maka sudah jelas dia akan mudah dikalahkan.’ Maka aku menjawab pertanyaan supir itu dengan menatap lekat-lekat matanya dan dengan nada yang jelas pula. “Kebayoran Lama.” Kataku sambil memajukan muka ke arahnya.
“Ya kemana, ke kiri atau ke kanan?” tanyanya lagi dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.
“Yah! Gimana sih? Masa supir travel gak tau jalur. Ya sudah kalo ke kiri ke mana, kalo ke kanan ke mana?” jawabku mencoba menutupi keasinganku pada tempat ini dengan nada tetap tegas. Aku ingat filosofi singa yang biasanya menerkam mangsa di daerah kekuasaannya, dan biasanya mangsa yang mudah adalah mangsa yang tidak mengetahui medan atau lapangan.
“Kalo ke kiri ke Pal Merah kalo ke kanan ke rumah sakit e… apa ya…, di perempatan tuh…”
“Rumah sakit Medika!!” potongku mengakhiri kelolaannya yang keliatan pura-pura lupa banget. Heh!! memang aku tidak tahu tempat ini, tapi kalau Pal Merah dan rumah sakit Medika mah sudah menjadi jalur yang sangat saya hafal selama di Jakarta.
“Ya udah ke arah rumah sakit medika aja!” kataku lagi dengan nada yang lebih kelihatan kesal dari sebelumnya. Mobil pun melaju kembali. Aku menang!
Setelah beberapa saat supir brengsek bertanya lagi. Mungkin masih mencari celah ketidak tahuan penumpang yang ternyata sudah siap ini.  
“Kemana?” katanya. “terus!” jawabku.
“Ini rumah sakit medika!” katanya lagi setengah membentak.
“iya terus! Emangnya saya bilang turun di sini?!” kataku penuh emosi. Mobil pun jalan kembali.
Setelah beberapa saat sopir brengsek bertanya lagi. “mana?”
“Jl. Seha 2 gang limo pak!” jawabku menjelaskan dengan detail.
“iya, mana?!, saya tidak tahu!” katanya lagi.  Huh!! Bener-bener brengsek supir ini (bener-bener!!, sumpah terus terang aku belum puas dengan hanya mengatakan orang ini brengsek, apa boleh buat perbendaharaan kata kasarku hanya sebatas ini.
“Terus…!, e… nah sini, sini…, eh bukan, terus lagi..., nah… sini di depan kan ada belokan, belok aja masuk, kemudian belok kiri, kemudian belok kiri lagi ntar stop di depan…” jelasku panjang sengaja mempermainkan. Di mana-mana juga stopnya pasti di depan kalau belum nyampek kataku dalam hati. Sang supir bodoh hanya mengikuti, kali ini dia tidak berkata lagi, sepertinya putus asa. Hehehe… tidak kukira ternyata dibalik kekekaran tubuhnya dia menyimpan kebodohan. Rasain lho!! Mank enak…  
Selang beberapa saat aku berkata lagi, “nah di sini, stop pak, e... bukan, depannya lagi…” hehe… permainanku hanya dibalasnya dengan seruan “ck…!” sedangkan hatiku berteriak-teriak kegirangan walaupun tidak dapat menghilangkan semua kekesalanku sebelumnya.
“Akhirnya aku sampai juga.” Gumamku mencoba melupakan seluruh kekesalan pagi ini. Aku melihat jam tanganku. Jam 04.30. “Telambat...” kesalku singkat.
Di depan kampus, pak satpam yang sejak dulu aku kenal bernama pak Rahmat baru terbangun dari tidurnya, sepertinya dia terbangun karena deru mobil berisik yang penuh polusi itu. Aku memaklumi jika pak Rahmat tertidur sejenak saat jaga malam, sebab beliau juga mengikuti kuliah sore di sini. Dengan biaya sendiri tentunya. Apalagi di sini merupakan daerah aman dari kejahatan.
Senyum pak Rahmat tersungging lesu setelah beberapa saat memandangiku pertanda dia kembali mendapatkan seluruh kesadarannya. “Gozali! Selamat datang…” katanya. Subhanallah walhamdulillah!! Seruku dalam hati. Nu’aimy…, bahkan satpamnya sebaik dan seramah ini……



Jakarta, 24 May 2009.
Imam Gazali
Di suatu pagi yang menakjubkan.


[1] alumni

sile bace lengkapnye >>

Cerpen MOdiv (Fachrul)

Tersebutlah di ibu kota seorang anak muda yang sedang menimba ilmu di Ma’had Aliy An Nuaimy-Jakarta sedang merenung di pinggir sebuah sungai (kali). Ciliwung namanya (jangan protes, ceritanya kali ciliwung di sini masih jernih, mengalir dan bahkan banyak sekali ikan gabus, gurame dan lumba-lumbanya. Diem!! Kalo protes nulis ndiri...!!) Anak muda itu bernama M. Fachrul Raaziy bin Idris bin Syafii’ (gak boleh ada yang tesinggung).
Anak muda yang cukup tampan itu termenung karena sudah seminggu ini perutnya belum dimasuki sebutir nasi pun (ceritanya belum Romadhan nhe...). Apa boleh buat, ia sudah tidak punya sepeser uang pun, ma’had juga sudah tidak ngasih makan gratis, mau pulang jg harus jalan kaki ke ujung Sumatra sana. Ugh... bener-bener kepepet pokoknya. Jadi opsi terakhir termenung ja di pinggir kali. Don not try this at home.
Sebenarnya ada niatan untuk ngutang pada temen, atau bekerja barang cuci piring, baju, photo atau cuci-cuci yang lain. atau minta belas kasih pada tukang mie samping Ma’had sambil memelas dan mengatakan sudah seminggu tidak makan. Cuma sayang, semua itu hanya ada di otak cerdasnya, belum bisa nyampe ke anggota badannya (sebab anggota badannya udah mulai brontak dari otaknya, out of control gtw...hheheheheh... gw berkuasa di sini, serah gw khan...) ditambah dia memiliki izzah (izzah tuh, macammm... harga diri lah pokoknya...) yang gak ketulungan mahalnya, konon kata orang kampungnya (emang dia orang kampung koq, ndhesso lan katro malah) mending mati dari pada menjadi hina di mata orang..... (tuh kan gak ketulungan....ampun dah!), syukurlah. Dari pada niat jadi preman gimana .... hehehe gak tau dah nasib tanah abang gimana... hiiiii ngeri...
Nah... (lanjut ceritaaaaaa...) ketika sedang merenung itu, fachrul melihat sebutir apel yang sedang ngambang mengikuti arus air sungai (gak taw apa ada yang ngelempar atau tukang jual apel lewat truz apelnya jatuh satu, pokoknya tiba2 da apel ja...). Sebenarnya pada awalnya ia ragu untuk mengambilnya (gak niat ngambil gtw. Masalahnya?, mungkin dia gak bisa renang, males atau gimana, pokoknya gak niat gtw...) tapi ternyata sang apel malah muter-muter di depannya, tambah deket dan tambah deket... dan akhirnya tepat di depan pemuda kelaperan itu. Yah... bagaimana lagi, gayung bersambut, perut lapar ada apel di depan mata... langsung aja embat... lumayan, buat pengganjal perut....
Setelah makan apel gede dan manis itu dalam satu menit, (hehehe... kasian.... saking kelaperannya...) si fachrul baru sadar. Ia teringat sebuah hadits yang pernah ia pelajari di ma’had “Al Halaalu bayyinu wal haraam bayyinun, wa baynahuma umurun musytabihaaatun....!!” sontak aja wajah fachrul memerah, matanya menguning, kepalanya pusing, truzz perutnya terasa mual seakan tambah besar dan tambah besar...(itu mah kalo bukan gejala rabiez ya flu babi... hehehe).  Fachrul ingat bahwa apel yang ia makan itu belum jelas kehalalan dan keharamannya. Berarti apel itu masih syubhat..... !!!
Akhirnya ia menyesal atas kecerobohannya dan menangis sejadi-jadinya. Apalah guna belajar di Nuaimy 6 tahun (hehehe.... Nuaimy memperpanjang masa kuliah hingga 6 tahun sampai tingkat Doktoral. 3 paket. S1 2thn, S2 2thn, dan Doktoral (S3) 2thn jumlah keseluruhan 6thn. Bilmajjan lagi... mau?. Eh lanjut dulu ceritanya... ) kalo hanya cobaan seperti ini tidak bisa melewatinya..... hiks..hiks.... huaaaa..... (ratapnya sambil menangis keras, untung gak ada yang denger, kalo ada yang denger udah ditimpukin tuh anak).  
Fachrul bingung. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Mau ngadu ama batu, batu malah diem, mau nyebur kali ciliwung, takut keselem, eh, malah ada kodok, kodoknya mesem... (hayo loh, diketawain kodok..kwkwkwk...yang mesem berarti.....hehehe...pissssss... sorry.. lanjut?...)
Akhirnya Fachrul memutuskan untuk mencari asal-muasal apel misterius yang sudah tinggal cerita itu. Mulailah ia melangkahkan kaki setapak demi setapak menyusuri rawa lembah dan hutan berjalan di antara tebing curam semua dilalui demi perjuangan.... (mau kemana bos? Nyasar uey...). Pokoknya Fachrul bertekad untuk menemukan pemilik Apel tersebut.
Singkat cerita, setelah genap tujuh hari tujuh malam (gak makan juga loh..). Pencarian Fachrul membuahkan hasil. Ia berhasil menemukan toko buah-buahan di pinggir sungai (gak usah susah-susah dibayangin, Cuma ada dicerita yang dibaca oleh pembaca yang budiman... lebay sangadh lah...). Tapi sayang tokonya sedang tutup. Orangnya gak ada. Akhirnya Fachrul memutuskan untuk menunggu hingga pemilik toko itu datang. Esok harinya, Fachrul dibangunin oleh seorang bapak-bapak paruh baya yang keliatan berwibawa dan terhormat.
“heh, bangun! Dah pagi, ngapain tidur di depan toko saya?” (ugh... tega banget, dikira gelandangan apa? Hehehe... emang mirip... huy hati2 kalo ngomong,,,! mahasiswa chuy... kan gw bilang mirip...).
Dengan sabar Fachrul menjawab; “maaf pak, gak sengaja, tadi malam ketiduran setelah shalat tahajud...” (ceillleee.... alim uey,,,).
“Ngapain shalat tahajud di depan toko saya? Mau nyolong ya?!” tanya bapak itu lagi setengah bercanda. (masalahnya keliatan bapak itu tidak sepertii orang pemarah...).
Fachrul menjawab, “Sebenarnya saya ada perlu sama bapak, jadi sekalian saya menunggu bapak dari kemarin...”
“?????....”
“e.... begini.... ngngngngngngngngngngngn...” panjang lebar Fachrul menceritakan pengalaman pahitnya (Pluss memalukan) selama delapan hari ini. Ia juga mengatakan kalo dia sekolah di Ma’had An Nu’aimy untuk meyakinkan sang bapak. Sayang sang bapak tidak tau apa tuh An Nu’aimy...
“Penjelasan tentang An Nu’aimynya ntar ja bapak ya, sekarang saya ingin mengutarakan maksud saya, yaitu ingin meminta keikhlasan bapak atas Apel itu.”
“Di apel itu ada label ‘manis gede’ nya gak? Kalo ada berarti benar punya saya... kalo gak, ya terpaksa kamu haru berjalan lagi. ” (oya, tadi belum disebutkan kalo apelnya juga ada label ‘manis gede’ nya. Hehehe lupa... ya,,, paling tidak disebutkan kata yang sama... hehehe... kalo gak percaya liat lagi sana...).
Fachrul mencoba mengingat-ngingat, “iya pak ada, rasanya juga sama” jawabnya spontan setelah berhasil mendapakan ingatannya kembali.
“Gak saya ikhlasin...!” kata bapak yang sekarang diketahui namanya Syarif Kariim itu seketika.
Kontan saja Fachrul terkejut dan merasa sedih, ia merasa sudah bersusah payah dan optimis akan diikhlashkan demi menjaga kesucian jiwa raganya yang selama ini belum pernah dikotori. Sejak kecil Fachrul memang menjaga dan dijaga dari kotoran-kotoran jiwa dan raga. Walaupun kondisi ekonomi Bapaknya, Idris selalu pas-pasan, beliau selalu mengajarkan Fachrul untuk tidak mengotori jiwa raganya dengan memakan makanan syubhat, apalagi makanan haram.
“Yaudah, bapak jual apel itu ke saya, ntar saya bayar.”
“memangnya kamu punya uang? Jangan-jangan kamu memang sengaja pura-pura gak punya uang agar apel yang kamu makan gak usah kamu bayar....”
“Astaghfirullah!!! (kaget setengah mati, Cuma hidup lagi hehehe... kalo mati setengah gimana ngomongnya coba..?) maksud saya,....e...ee... saya ngutang dulu bapak. Ntar setelah saya mendapatkan uang saya akan kembali untuk membayarnya. Gimana?”
“Wah! Gak bisa begitu, saya khan belum kenal kamu, bisa saja kamu lari dan tidak kembali lagi...” jelas bapak itu pura-pura tidak percaya ama Fachrul (tamapang preman seh...)
“Kalau mau saya ikhlasin, ya... harus kontan atau mau memenuhi 2 persyaratan saya...gimana?”
“Waduh, nhe bapak kok pelit banget yah. Masa satu buah apel aja ampe segitu rumitnya.... ya Allah... hanya kepadamulah hamba mengadu...” suara ratapan hati fachrul didengar yang nulis nhe cerita. Kemudian disampaikan ke yang baca. Gak usah ikut dengerin, baca ja....
Akhirnya dengan perasaan berat ia bertanya lagi, “Persyaratan apa pak?”
“Kamu harus menjaga toko saya selama sebulan... tanpa gaji!”.
“Sebulan pak?! Tanpa gaji?! Ya Allah..! trus makannya gimana?, tidur gimana? Sekolah saya juga gimana?” hehe... di kota seperti ini jaga toko sebulan dapat sepuluh karung apel kaleee... dasar nasibnya malang.... huahahaha....
“Tenang aja, makan saya yang tanggung, tidur di sini aja, trus sekolah ntar bapak mintakan izin cutiy ke rektornya.” Jawab bapak itu enteng.
Fachrul mulai berfikir, kalo ia menyanggupi, berarti ia harus kehilangan waktu sebulan dengan kecapean dan materi kuliah yang tertinggal, mana mau imtihan* lagi, Tadribat* belum di kumpulin, hafalan juga tinggal satu juz... belum persyaratan ke dua yang pastinya tidak kalah exstremnya... waduh...! gimana ya....? tapi kalo gak, usaha dia untuk menjaga kesucian diri menjadi sia-sia donk... jiwa raganya akan terkotori dan daging yang terbuat dari apel syubhat itu akan lebih mudah dimakan api neraka kelak ketika ia sudah mati nanti. Ditambah ia khawatir akan kualitas keturunannya karena apel gak halal itu ... bener-bener bagai makan buah simalakama... (emang tau simalakama tuh apa???? )
“Oke lah pak. Kapan kita mulai?”
“hari ini juga.”
“Oke. Syarat ke dua nya?”
“Ntar setelah satu minggu kamu jaga di sini, baru saya beri tahu kamu, sekarang kamu kerja dulu...”
Diam-diam sang bapak memperhatikan kerja Fachrul Raaziy tanpa sepengetahuannya. Ternyata Bapak yang rambutnya sudah tampak memutih itu terkagum dengan kejujuran dan keuletan si Fachrul. Ia merasa harus menjadikan pemuda ini menantunya satu-satunya. Jarang-jarang zaman sekarang ada anak muda yang seperti dia. Makhluk langka yang harus dilindungi nhe...
Akhirnya setelah satu minggu sang bapak memberi tahukan Fachrul persyaratan kedua.
“Persyaratan kedua adalah kamu harus menikahi anak saya yang buta, tuli, bisu dan buntung!” kata Pak syarief enteng tanpa merasa terkejut melihat ekspresi wajah Fachrul yang bagai orang kesengat listrik (ntu tu... kek di film dono.... matanya mblalak, rambutnya berdiri, trus mukanya item...)
(udah pulih) “waduh pak, jangan yang itu lah pak...!” pinta Fachrul memelas.
“Kamu ingin menjaga keturunan kamu kan? Gak ada cara lain lagi. Atau kamu mau saya tarik lagi keputusan saya?”
Langsung bulu kuduk Fachrul merinding, sekarang lebih berat lagi. Mau milih neraka atau nikah ja? Ya... walau ma orang cacat total...hihihi... (bayangin aja coba, nikah ma orang buta, tuli, bisu, buntung lagi... gak kebayang....)
“Cepet ambil keputusan! Gak ada waktu lagi buat istikharah.” Desak Pak Syarief.
“yaudah...” Jawab Fachrul lesu dan pasrah.
“yaudah apa? Setuju?!”
“iya-iya...”
Nah! gitu dong. Mau bilang mau. Yang tegas jadi laki-laki tuh...”
2 hari kemudian diadakanlah akad nikah antara kedua mempelai di kediaman mempelai wanita. Dan rupanya Pak Syarif adalah pengusaha sukses yang memiliki harta yang berlimpah. Rumahnya gede, mobilnya banyak, bisnisnya macam-macam, sedangkan toko apel itu hanya kerja sampingan pembantunya yang sedang pulang kampung ke Jawa. Jadi untuk sementara waktu beliau yang menjaganya. Sungguh orang yang unik. (yang nulis aja heran...)
Setelah akad, Fachrul dipersilahkan untuk menemui mempelai wanita yang sudah menunggunya di kamar pengantin yang cukup luas dan megah. Setelah beberapa menit berdiri dengan sejuta keraguan di depan pintu, Fachrul pun akhirnya memberanikan diri masuk kekamar. Disana sudah ada dipan indah dan hiasan-hiasan kamar yang mahal-mahal. Kamar itu wangi bunga melati yang semerbak begitu wangi. Antara sedih dan senang dech....
Akhrirnya setelah menutup pintu, ia sangat terkejut melihat seorang wanita yang sangat cantik dan semampai melangkah kearahnya sambil berkata, “Silahkan mas...”
“Siapa kamu?” Tanya Fachrul mengacuhkan sambutan wanita bermata hijau itu.
“Aku Istrimu mas...” jawab wanita itu sambil tersenyum.
“Apa?! Tidak kamu bohong...!” secepat kilat Fachrul membuka pintu kemudian berlari meninggalkan wanita itu menuju ayah mertuanya. 
“Ayah!!” (ceiellaaa ayah gtw... hehehehe)
“Iya nak, ada apa?” (beuuuhh... bener-bener bapak dan anak yang rukun... huahahaha)
“Yah, itu dikamar siapa seh?” tanya Fachrul....
“Di kamar mana?” canda Pak Syarif pura-pura tidak tahu.
“Di kamar istriku...”
“Ya istrimu lah, mana mungkin istri ayah?” jawab Pak Syarif lagi-lagi enteng.
“Tapi kata ayah istri saya buta, tuli, bisu dan buntung kan yah?” Tanya Fachrul meyakinkan diri tanda belum mengerti, (harap maklum semuanya....).
“Ya maksud ayah, buta itu karena dia tidak pernah melihat hal-hal yang dilarang Allah untuk dilihat, tuli juga karena telinganya tidak pernah digunakan untuk mendengarkan hal-hal yang haram, bisu juga karena mulutnya tidak pernah berkata dusta dan kasar kemudian buntung karena dia juga tidak pernah menggunakan tangan dan kakinya untuk maksiat kepada Allah swt.” Jelas Pak Syarif panjang lebar, setelah menyadari menantunya tidak sepintar yang ia kira... (hehe... tega...huftaaa).
“Cihuuuyyyyyy!!!” Teriak Fachrul setelah pingsan sejenak....
Akhirnya fachrul dan istri hidup tenang damai santosa dan sejahtera,,,, setelah sebulan baru dia kembali melanjutkan kuliah S2nya yang sempat terputus karena musibah yang berujung anugerah ini.


Writen by Igoz Hamid on Sunday
Sebenarnya, jujur saja, cerpen ini di ambil dari cerita Idris, Bapaknya Muhammad bin Idris yang kita kenal dengan sebutan Al Imam As Syafii yang sudah dimodivikasi dan akan diilustrasikan ke layar lebar. Amin.


sile bace lengkapnye >>