AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Jumat, 04 Desember 2015

Hidup Melandak

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....

Jumu'ah Mubarakah untuk setiap jiwa yang merindu syurga. Semoga Allah senantiasa merahmati kita selalu, amin.

Pagi ini saya akan berbagi sedikit tentang satu keindahan dalam menjalani hidup yang Allah ajarkan melalui seekor landak. Sungguh dalam kehidupan landak terdapat hikmah yang luar biasa bermanfaat bagi kita, selayaknya seekor gagak yang datang mengajarkan Qabil bagaimana mengubur jenazah saudaranya, jika kita mau berfikir tentunya.

Landak adalah hewan pengerat yang memiliki rambut tebal dan tajam seperti duri. Ia tercatat sebagai hewan pengerat terbesar ketiga di dunia dan tersebar di seluruh benua Asia, Afrika, dan Amerika seperti yang dirilis oleh Wikipedia.

Seekor Landak tidak mungkin merapat dengan landak lainnya di sebabkan duri-duri tajam di sekujur tubuhnya. Duri-duri tersebur tidak hanya sebagai pelindung diri dari musuh dan hewan pemangsa lainnya, bahkan juga menjadi "pelindung" dari pasangan dan anak - anak kandungnya sendiri...

Jika musim dingin tiba, dengan udara dingin yang lebih tajam menusuk dari duri-duri di sekujur tubuhnya, landak terpaksa saling merapat satu sama lainnya demi menghangatkan tubuh.

Itu artinya, secara otomatis mereka akan saling menyakiti satu sama lain dengan duri - duri di sekujur tubuh mereka.

Jika sekawanan landak itu telah merasa cukup hangat, mereka akan segera saling menjauh kembali, namun ketika dingin kembali menusuk, mereka akan segera merapat kembali..

Begitulah sepanjang siang dan malam musim dingin dalam kehidupan landak; antara saling mendekat dan menjauh satu sama lainnya.

Merapat terlalu lama bisa melahirkan luka parah pada tubuh mereka, sementara jika mereka tetap memilih menjauh dalam waktu yg lama bisa jadi udara dingin membunuh mereka.

Begitu pula kehidupan kita dengan orang - orang sekitar kita. Tak seorang pun dari kita yang tak "berduri" dan terbebas dari kesalahan yang mengitari...

Tentu kita sama sekali tidak akan dapat merasakan "hangatnya" kebersamaan jika kita tidak rela bersabar menanggung perihnya "duri - duri" orang lain, begitupun sebaliknya.

Oleh karena itu, siapa saja yg hendak mencari kawan tanpa kekurangan, selamanya dia akan hidup tak berteman. Bahkan, berlian yang indah dan mahal harganya, berasal dari bongkahan batu hitam tak berguna.

Inilah seni hidup yang diajarkan seekor landak kepada kita; seni  membutakan diri, seni melupakan, dan seni memaafkan kesalahan - kesalahan dan kekurangan orang lain.

"Lan Tahshul Alaa ad Daf-i, maa lam tahtamil wahza Asy Syauki."
(Engkau tidak akan merasakan kehangatan, selama tak mau menanggung perihnya tusukan duri)

Seni seperti ini adalah seni orang - orang sukses dan besar. Dimana kesalahan - kesalahan dan kekurangan kecil menjadi tak ada artinya demi tujuan - tujuan besar.

Bahkan Imam Ahmad bin Hambal berkata; 1/9 "Al Afiyah" ada pada sikap "At Taghaful" (melupakan dan memaafkan).

Semoga kita senantiasa terlimpahkan "al afiyah" dalam kehidupan kita. Selamat Jum'at, selamat melandak.

Akhukum fillah, Imam Gazali.
Riyadh - Jumu'ah pertama di awal musim dingin,
4 Desember 2015 / 21 Safar 1437 H

*terinspirasi dari kitab "Hikmatul Qanaafidz" karya Dziab Abu Sara

sile bace lengkapnye >>

Jumat, 06 November 2015

HAKIKAT MEMILIKI

(Bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu)

له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير.....

Salah satu pertanyaan yang besar kemungkinan kita temukan dalam perjalanan hidup dan mungkin setiap kita pun pernah bertanya meski sekali dalam hidupnya; Apalah arti memiliki bila diri kita sendiri bukanlah milik kita?

Ini merupakan satu pertanyaan yang setiap anak Adam pasti akan mempertanyakannya setidaknya sekali dalam hidupnya. Tidak heran jika seorang penulis top seperti Darwis Tereliye menjadikannya sebagai salah satu pertanyaan dari 5 pertanyaan besar yang dia angkat dalam bukunya yang berjudul "Rindu".

Tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan dalam buku itu, karena Bang Tere sudah menjawabnya sendiri dalam perjalanan setiap tokoh yang ada di dalam kisah tersebut. Jika ingin tahu jawaban Bang Tere, silakan saja baca sendiri bukunya, kalau tidak punya, daftar untuk antri minjam buku saya di ruang komentar. ☺☺

Bagi kita, manusia, makhluk yang begitu mengagumkan namun kompleks ini, memiliki adalah satu hal yang telah menjadi bagian dari hidup. Memiliki menjadi syarat kita berhak dalam memanfaatkan dan menggunakan apa saja yang kita miliki terlepas dari protes dan gangguan orang lain selama kita tidak mengganggu mereka.

Namun, meskipun demikian, tetap saja satu pertanyaan di atas menjadi satu "padanan" atau "permasalahan" dari segala kepemilikan setiap orang yang merasa memiliki.

Kita mungkin merasa memiliki banyak hal; rumah, mobil, suami/istri, anak, kerabat, perusahaan, tanah, dsb. namun benerkah kita benar-benar memilikinya?

Setiap yang merasa memiliki penting menanyakan ini kembali kepada dirinya sendiri agar lebih arif dan bijaksana dalam memanfatkan apa yang ia "miliki". Karena tidaklah seseorang menyia-nyiakan sesuatu yang dimilikinya melainkan karena tidak tahu arti kepemilikan itu sendiri.

Kita tidak benar-benar memiliki sesuatu di dunia ini yang keseluruhannya HANYA milik Allah. Sedang kita, mungkin tepatnya hanya "berhak" atas apa yang kita sebut miliki tersebut.

Buktinya? Seringkali apa yang kita miliki itu hilang dari kita tanpa mampu kita cegah;
Harta yang kita kumpulkan dengan jalan apa pun, halal atau haram, tidak pernah kekal bersama kita.

Surat - surat mobil dan tanah yang kita beli ataupun perusahaan yang kita dirikan tidak menjamin tanah atau perusahaan itu seutuhnya milik kita, karena bencana atau kebangkrutan bisa datang kapan saja.

Istri atau suami yang kita miliki secara sah dengan akad yang mulia dan disaksikan, bahkan tidak kita miliki penuh sehari semalam pun. Bahkan saat kita tidur bersama dengan pasangan kita, satu ranjang tanpa sekat apa pun, kita terpisah lebih dari ribuan mil di alam mimpi masing - masing.
Masihkah benar-benar kita memilikinya?

Bahkan kepemilikan atas diri kita sendiri pun tidak menghalangi datangnya penyakit yang datang bertandang atau pun kematian yang tiba - tiba menjemput.

Kita tidak pernah benar - benar memiliki apa pun di dunia ini bahkan diri kita sendiri, karena jika bukan milik kita yang hilang kitalah yang akan pergi.
Semua hanya milik Allah dan semua akan kembali kepadaNya.

Oleh sebab inilah, Islam yang indah mengajarkan kita akan hakikat ini. Hakikat memiliki yang sebenarnya. Bahwa apa pun yang kita miliki di dunia, semuanya tetap dalam kepemilikan Sang Maha Memiliki, Sehingga kita sadar apa yang menjadi hak kita, tidak akan tersalah pada orang lain dan apa yang bukan hak kita tidak akan menjadi bagian direzekikan.

Bagi seorang muslim, kesadaran seperti ini menjadi bagian dari keimanan, dan mengamalkannya merupakan kebaikan yang sungguh mengagumkan.

عن أَبِي هُرَيْرَةَ , أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ , قَالَ : " مَنْ قَالَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ , لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ , وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ ، وَكَانَ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ , وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلا رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ , وَمَنْ قَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ .

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang mengucapkan;
لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ , لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(Tidak ada ilah (Tuhan yang patut disembah) selain Allah, yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagiNya, baginya segala kepemilikan dan pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)
Sebanyak 100x, maka baginya setara dengan memerdekakan 10 budak, baginya 100 kebaikan, darinya dihapus 100 keburukan, dan dia dibentengi dari syaitan di hari itu hingga menjelang sore. Tidak ada yang dapat menandingi kebaikan ini selain orang yang mengamalkan lebih banyak dari amalan-amalan tersebut. Dan barang siapa yang mengucapkan, "subhanallah wa bi hamdihi" 100x dalam sehari, dihapuskan dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan."

Walillahil mulku wal mannu wal fadlu wa huwa alaa kulli syai'in qadir.
Semoga bermanfaat.

Akhukum fillah,
Imam Gazali.
Riyadh, selepas shalat Jumat, 6 Nov 2015. 
sile bace lengkapnye >>

Jumat, 11 September 2015

Al Asyrul Awaa-il ( 10 Hari pertama Dzul Hijjah)

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....

Bismillahirrahmanirrahim...
Demi mengisi hari Jumat yang berkah di hari - hari terakhir Dzul Qa'dah ini, saya ingin kembali berbagi ide dan pikiran tentang satu hal yang mungkin bisa menjadi manfaat bagi kita semua.

Hiruk-pikuk dan berbagai kesibukan sekaligus permasalahan-permasalahan memang sering kali melupakan kita pada banyak hal, bahkan tidak jarang melupakan kita pada nama hari di mana kita bangun di pagi harinya.

Jika sudah demikian, jangankan hari-hari penuh keutamaan dalam Islam yang akan diingat, tanggal Hijriyah saja harus "bertanya" pada "mbah" google untuk mengingatnya. Sejauh itukah kita dengan Islam sekarang? Entahlah, yang jelas, mau tidak mau kita akui, itulah faktanya.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, izinkan saya yang juga banyak sekali lupanya ini berbagi tentang keutamaan 10 hari pertama di bulan Dzul Hijjah yang insya Allah akan dimulai pada hari Selasa, 15 September mendatang.

Adalah kehendak juga sunnah Allah, memilih beberapa hari lebih utama dari seluruh hari yang ada seperti memilih hari Jumat atas hari-hari lainnya sebagai Sayyidul Ayam, Hijjul fuqaraa wal masakiin.

Seperti juga halnya demikian, Allah memilih Ka'bah dan Masjid Al Haram lebih utama atas seluruh tanah yang ada di permukaan bumi ini. Sehingga, shalat di sana menjadi 100.000 kali lipat pahalanya dibanding shalat di luar Masjid Al Haram selain masjid An Nabi yang 1000 kali lipat dan Al Quds yang 500 kali lipat dibanding masjid dan permukaan tanah lainnya di muka bumi.

Pun juga Allah memilih para nabi-nabi atas kaumnya, dan Nabi kita Muhammad atas semua nabi-nabi tersebut.

Begitulah sunnatullah yang berlaku di dunia ini, sehingga kita tidak perlu mempertanyakannya lagi, karena sejatinya pertanyaan-pertanyaan seperti; "Kenapa Allah harus memilih ka'bah?", "Kenapa harus hari Jumat?", "kenapa harus bahasa Arab?" "Kenapa harus Dzul hijjah?" dan pertanyaan-pertanyaan laiinya yang senada adalah pertanyaan - pertanyaan konyol yang tidak perlu dijawab, sebab kita sendiri pun menjalaninya dalam kehidupan sehari - hari.

Kita biasa memilih pecel untuk sarapan pagi, dari semua menu yang ada, bukan karena menu lainnya tidak enak tapi kitalah yang memilih pecel saat itu. Kita pun memilih baju yang cocok dan enak untuk dipakai hari ini dari seluruh pakaian yang kita punya, bukan karena pakaian yang lain sudah mau kita rombengkan, kita juga memilih si fulanah sebagai calon istri kita dari seluruh gadis yang ada, karena kita ingin memilihnya dengan alasan yang kita miliki, yang tidak berarti selain fulanah bukan selera kita atau tidak cocok dengan kita.

Dan harus kita ingat, kita pun adalah satu sel sperma terpilih yang berhasil membuahi sel telur dari jutaan bahkan milyaran sel yang ada saat itu. Begitulah logika berlakunya kehendak dan pilihan. Jika kita sebagai makhluk bebas memilih ini itu sebagai pilihan, maka apalagi Allah yang Maha Berkehendak. Tentu kehendak dan pilihanNya adalah mutlak.
Lalu kita sebagai makhluk hendak mempertanyakan atau bahkan memprotes pilihanNya? Ayolah kawan,  bukanlah engkau beragama dengan logis?

Okelah, tak perlu dijawab kita lanjut saja...
Allah swt berfirman dalam Al Fajr yang artinya;
"Demi waktu Fajar. Demi 10 Malam." QS. Al Fajr: 1 - 2)

Para ulama berpendapat 10 malam tersebut adalah 10 malam pertama di Bulan Dzul Hijjah. Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsir beliau riwayat Ibnu Abbas, "10 malam itu adalah 10 malam pertama bulan Dzul Hijjah."

Allah bersumpah dengan 10 malam itu disebabkan keutamaan yang dimilikinya, bahkan sebagian ulama berpendapat keutamaannya melebihi sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Namun sebagian lagi menyangkalnya.

Pendapat yang lebih bisa diterima adalah pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawanya yang berpendapat bahwa 10 malam terakhir Ramadhan lebih utama dari 10 malam pertama bulan Dulhijjah, namun 10 (siang) hari Dzul Hijjah, lebih utama dari 10 (siang) hari Ramadan.
Hal ini sebagai mana sabda Nabi; "Sebaik-baiknya hari-hari dunia adalah hari - hari Al Usyru (10 hari pertama Dzul Hijjah)." Hadits Shahih menurut Albani. (Shahih Al Jami' Al Shaghir: 1133)

Allah tidaklah bersumpah dengan sesuatu melainkan ada keutamaan yang harus kita perhatikan dalam hal tersebut. Begitu pula ketika Allah bersumpah dengan 10 malam pertama di bulan Dzul Hijjah.

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya Fathu al Bari fi syarhi Shahihi Al Bukhari, mengatakn, "Hal yang tampak sebagai sebab kelebihan 10 hari dzul hijjah yaitu sebab terkumpulnya seluruh Ummahat ibadah (ibadah utama) di dalamnya yaitu; shalat, puasa, sedekah dan Haji yang tidak terdapat di hari2 lain selain pnya"

Di antara keutamaan lain yang bisa saya rangkum dari 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah adalah hadits Nabi Riwayat Al Bukhari

"Dari Ibnu Abbas ra., Nabi saw bersabda; "Tiada hari-hari di mana 0allah lebih mencintai perbuatan baik di dalamnya melebihi hari-hari ini (Al Usyru)." para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad ya rasul?" beliau menjawab "tidak pula jihad, kecuali jihad seorang yang keluar berperang dengan harta dan jiwanya dan tidak kembali lagi (syahid)."

Inilah, keutamaan yang ada di hari-hari mulia itu, semoga kita dapat memanfatkannya dengan sebaik-baiknya. Setidaknya, meskipun belum nisa menunaikan semua amalan utama seperti qurban dan haji, mudah-mudahan kita berbuat baik sebanyak-banyaknya. Karena sesuatu yang tidaj dapat kita ambil semua, tidak lantas kita tinggalkan semua.

Ibnu Rajab berkata;
من لم يستطع الوقوف بعرفة.
فليقف عند حدود الله الذي عرفه.
 ومن لم يستطع المبيت بمزدلفة.
فليبت على طاعة الله ليقربه ويزلفه.
ومن لم يقدر على ذبح هديه بمنى.
فليذبح هواه ليبلغ به الُمنى.
ومن لم يستطع الوصول للبيت لأنه بعيد.
فليقصد رب البيت فإنه أقرب إليه من حبل الوريد.
[ لطائف المعارف ص 633 ]

Yang tidak dapat wuquf di Arafah, maka hendaklah dia wuquf (berdiri) pada hudud (batasan2) Allah yang diketahuinya
Yang tidak dapat mabit di Muzdalifah, maka hendaklah ia senantiasa mebiasakan diri pada ketaatan agar selalu dekat dengan Allah.
Yang belum bisa menyembelih "hadyah"nya di Mina
Hendaklah mengejar citanya dengan menyembelih nafsunya
Yang belum bisa ke Baitullah karena jauhnya jarak, Maka hendaklah menujuh Rabb Baitullah yang lebih dekat dari urat leher.

Demikian, Semoga bermanfaat.
Imam Gazali.
Riyadh - Jumat, 11 sept 2015 M / 26 Dzul Hijjah 1436 H
sile bace lengkapnye >>

Minggu, 16 Agustus 2015

Falsafah Gila

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....

Seperti biasa, karena sedang senggang, rasanya ingin sekali menulis sebanyak-banyaknya. Tap apa daya, keterbatasan waktu yang ada saya hanya bisa menulis ini,

Komentar (lain) untuk JIL; Tentang Berfalsafah.

Satu lagi yang ingin saya komentari tentang Jaringan Islam Liberal, yaitu tentang kegemaran mereka berfalsafah;
"Man laa ya'riful mantiq, lam yutsaq bi ilmihi" __Yang tidak mengetahui mantiq, ilmunya tidak dipercaya (diragukan), begitu kira-kira artinya__ kata mereka mengutip perkataan Al Imam Al Ghazali (450 - 505 H).

Sebelum saya melanjutkan berkomentar, saya ingin bertanya pada orang yang ngaku-ngaku hobi mantiq itu, apakah perkataan Al Imam Al Ghazali yang dibawa-bawa ke mana-man tersebut berarti "Jadilah kamu orang-orang keblinger. Eh, maaf Liberal."?
tik tok... No answer... tik tok...
Yasudah, dari pada nunggu lama lebih baik saya kasih tahu jawabannya yaitu;  _sesuai ilmu mantiq_ TIDAK. Tidak ada satupun kata dalam kalimat itu yang mengarah pada makna menjadi keblinger, eh maaf sekali lagi, maksudmya liberal.

Bagaimana mungkin kalimat tersebut disimpulkan sedemikian rupa dan menjadi dalil atau hujjah mereka dalam mempertahankan keblingeran mereka? inilah kenapa saya katakan dalam komentar pertama bahwa mantiq mereka ini tidaklah se-mantiq yang mereka kira. Jauh sekali tafsir yang mereka simpulkan sehingga keluar dari eksistensi kalimat tersebut dan mengarah pada pemalsuan atau pencorengan nama baik.
Bahkan jika membaca karya besar beliau (Hujjatul Islam Al Imam Al Ghazali) yang berjudul "Tahafut Al Falasifah" justru makna perkataan beliau itu beliau adalah sebaliknya.

Apakah dibenarkan dengan alasan kebebasan beride dan berkreasi dalam berpikir dan berperilaku memalsukan dan memlintir dan atau mencoreng nama baik seseorang?

Inilah salah satu kecacatan berfikir yang sangat akut. Kekongsletan stadium tinggi yang membinasakan. Bahkan orang gila saja masih bisa berpikir lebih baik darinya.

Baiklah, anggap saja ini sebagai salah satu "kesesatan" dalam bersalsafah. Dan inilah pokok madalah yang ingin saya komentari.

Seperti yang pernah diungkapkan salah satu pemukanya, "Jika ingin menemukan kebenaran, lepaskanlah semua pakaianmu." Yang berarti, bagi yang ingin menemukan mana benar mana salah, mana baik mana buruk, mana halal mana haram, mana madu mana racun, jadilah gila terlebih dahulu dengan merasakan dan mencicipi semua itu...

Alhamdulillah! Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Saya bersyukur kepada Allah yang telah menurunkan Alquran, mengirimkan Nabi Muhammad SAW, memberi petunjuk pada para ulma,  untuk mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk sehingga tak perlu saya lama-lama ataupun harus gila dahulu untuk membedakannya.

Orang-orang ini (liberal) memilih jalan terjal dan panjang serta lebih banyak menyesatkan ketimbang sampai pada tujuan dibanding jalan yang mudah, cepat serta pasti sudah sampai pada tujuan hanya karena satu alasan; kepuasan.

Tak ada salahnya jika kita mencoba menikmati semua anugerah yang Allah berikan dalam hidup ini; termasuk dalam menggunakan akal yang kita punya sebagai anugerah paling berharga bagi kita. Toh Allah memang membebaskan kita memakainya. Namun harus diingat baik-baik, semua dalam hidup ini adalah pertaruhan dan semua ada harga yang harus dibayar. Mempertaruhkan pertanggung jawaban akal kelak dengan hanya kepuasan sungguh merupakan pertaruhan yang sangat mahal.
Seharusnya mereka sadar bahwa hidup ini tak selalu tentang kepuasan, dan bahwa menerima ketidak puasan sebenarnya memiliki arti kepuasan di sisi lainnya.

Sejujurnya, dulu saya juga termasuk yang menyukai filsafat. Dulu, saat saya masih dalam masa-masa labil mencari jati diri. Ya, mungkin awal-awal otak saya berfungsi lebih baik untuk berfikir. Alhamdulillah, saya sadar dengan "keblingeran" saya setelah Allah tunjukkan kepada saya kesempurnaan dan kenyamanan menggunakan akal sesuai yang diajarkan Islam. Begitulah, mudah-mudahan dengan komentar ini, Allah juga mumbuka hati teman-teman pembaca untuk meninggalkan "keblingeran" mereka.

Sekali lagi, ini hanya komentar. Ada baik dan mungkin banyak kurangnya. Mudah-mudahan bisa bermanfaat.
Wassalam 'alaykum.
Jumat, 14 Agustus - Riyadh. 
sile bace lengkapnye >>

Jumat, 14 Agustus 2015

Petunjuk Nabi dalam Memperlakukan Belahan Hati

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....
Alhamdulillah, khutbah Jumat barusan membahas tentang kehidupan berkeluarga, tambahan bekal bagi saya pribadi dalam mempersiapkan rumah tangga dan ingin saya share di sini buat kawan2 yang juga mau nikah, sudah nikah, duda ataupun janda, atau boleh juga buat yang mau nambah... hee

*ciyeeee yang mau nikaah.
**iya doong mau, masa mau jomblo truss? yuk nikah... xp
*kabuuur
**=__=! cemen, gertak sikit aja langsung kabur. huh! dahlah, lanjut bahas khutbah... gini nih kalau orang jomblo ngomongin nikah, ada aja yang ciye ciye... _curcol dah ah, aiih salah fokus dr tadi...

Astaghfirullah!! Ampuni mereka ya Allah. Amin.

Kembali ke... bukan leptop, jadul banget sih. Sekarang dah jamannya Ipad dan Tab kali, wkwk

Baik, kita lanjut. Maaf selingannya agak garing-garing gosong, biar agak santai. Khususnya buat yang sudah kebelet nikahnya. Biar gak terlalu ngebet...

Kali ini khatib jum'atan membahas tentang perlakuan suami kepada istri sesuai dengan sunah Nabi. Senangnya mendengarkan khutbah ketika jumatan di sini, Riyadh, adalah tema-tema khuthbah yang dibawakan selalu inspiratif dan segar.
Menjadi dorongan sendiri untuk duduk di shaf terdekat untuk menyimaknya. Padahal sang khatib tidak pernah diganti kecuali sedang berhalangan.
Berbeda dengan di Indonesia yang kebanyakan masih selalu membuat ngantuk meskipun khatibnya diganti setiap pekan. Tidak heran jika ada jama'ah yang marah - marah kalau 2 khutbahnya lebih dari 15 menit karena terhitung sudah kelamaan.

Dalam khutbah tadi, khatib membahas tentang sebuah hadits yang  menjadi salah satu kaedah atau bisa dikatakan tips untuk membangun cinta dalam rumah tangga. (Yang masih bujangan atau gadis dengarkan baik-baik. hee)
Hadits tersebut adalah sebagai berikut;
لا يفرك مؤمن مؤمنة، فان كره منها خلقا، رضي منها اخر...  (رواه مسلم)
"Janganlah seorang mukmin membenci seorang wanita mukminah (maksudnya istrinya) , jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya, dia akan ridha dengan (akhlak) yang lainnya." HR. Muslim.

Menurut An Nawawi, hadits tersebut bermakna larangan, bukan menafikan. Karena pada kenyataannya, banyak muslim yang masih membenci istrinya sedemikian rupa hingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan keretakan yang berujung pada perceraian. Sehingga, masih menurut beliau, membaca kalimat di atas dengan cara menjazmkan kata "yafraku" menjadi "laa yafrak" tersebab "laa"nya adalah "laa nahi" yang bermakna larangan.

Tentu saja hadits ini tidak melulunya tentang suami pada istri, namun juga sebaliknya, seorang istri pada suaminya. Namun termasuk dari keindahan hadits tersebut adalah dikhususkannya seorang suami dalam memperlakukan istri. Bahwa pada kenyataannya, kebanyakan suami gagal paham dengan istrinya. Bahwa yang dia nikahi adalah seorang wanita biasa. Bukan wanita super yang perfect dan sempurna. Yang Rasul gambarkan bengkok dan miring seperti tulang rusuk sebagaimana ia diciptakan. Jika dia keras meluruskannya ia akan patah, jika dibiarkan dia akan tetap demikian. Sehingga, cara tebaiknya adalah membimbingnya dengan ilmu dan kesabaran.

Barangkali, bayangan seorang istri yang sempurna tanpa cela yang dia angankan sebelumnya menjadikan dia kecewa dengan apa yang ia temukan setelah ia menikah karena selalu lebih rendah dari yang diangankan.

Perasaan yang kadung terbangun indah dan istimewa, menjadikan dia lupa bahwa yang dinikahinya adalah wanita biasa yang tetap penuh kekurangan setinggi apapun pendidikannya, semempesona apapun keindahannya, terpandang apapun keluarga dan sukunya, dan lain sebagainya dari sifat-sifat kesempurnaan.

Tidak kawan, tidak ada wanita sempurna tanpa cacat yang kau dambakan itu di dunia ini. Wanita seperti itu hanya ada di syurga kelak. Yang jika kau beruntung, kau akan mendapatkan istrimu ketika engkau di dunia. Bahkan meskipun engkau sudah merasa mencintainya sekian rupa pun pasti engkau akan menemukan kekurangannya.

Jangan tertipu dengan kisah-kisah para suami yang seakan-akan sudah menemukan istri yang sempurna, mereka itu pasti telah mengamalkan hadits diatas, hanya saja mereka tidak mau membagikannya. Barangkali, terlalu sayang terhadap istrinya sehingga lupa kekurangan-kekurangannya atau bisa jadi memberikanmu peluang untuk belajar atau sebab lainnya yang mungkin bersifat pribadi.

Itulah kira-kira pelajaran yang saya petik sendiri dari khuthbah Jum'at tadi. Sebenarnya, masih banyak lagi hikmah yang bisa saya bagikan di sini jika bukan karena keterbatasan waktu yang menghalangi. Ada juga kisah hikmah yang mungkin lain waktu bisa disambung kembali.

Intinya, bisa saja istrimu cantik, pendidikan tinggi, perhatian, dan pintar, namun, ternyata dia seenaknya, suka ngomel, suka cari perhatian dan pelit. Bisa jadi. Jika sudah demikian liat KEIMANANNYA, lalu bersabarlah membimbingnya. Jangan langsung main pukul, talak apalagi cari istri tandingan.

Sekian. Semoga manfaat.
Imam Gazali. 
sile bace lengkapnye >>

Minggu, 09 Agustus 2015

Komentar saya tentang Liberalisme

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....
Bismillahirrahmanirrahim. Kali ini saya ingin berkomentar sederhana tentang Liberalisme.

1. Dengan asma Allah saya memulai tulisan ini. Berharap nasehat bagi saya sendiri, juga pada orang-orang yang "mendengarkan kebaikan lalu mengikutinya."

2. Komentar ini khusus saya tulis, demi 2 hal; berkhidmat pada ilmu pengetahuan dan islam dan berlepas diri dari JIL dan kesesatan-kesesatan pemikirannya.

3. Biasanya (rujukan dari biasanya di sini adalah pengalaman selama berinteraksi dalam diskusi2, debat2 tertutup maupun terbuka, ataupun interaksi sehari2) orang2 liberal akan menggunakan jurus yang dengan terpaksa saya sebut dengan "remang2 istilah", yaitu mengaburkan makna liberal itu sendiri lalu dengan liberalnya meliberalkan orang lain serta membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar dengan satu kaedah pokok yang digembar-gemborkan, "kebenaran mutlak hanya milik Allah semata." (baca juga tulisan saya tentang hal ini di broigoz.blogspot.com)
Oleh karena itu, dalam komentar singkat ini, saya ingin menggariskan garis sederhana untuk menyeluruhkan definisi dan membatasi cakupannya.
Liberal yang saya maksud adalah setiap pemikiran atau cara berpikir yang lebih mengedepankan akal atas nash2 dalil yang diakui Islam sehingga secara bebas menerjemahkannya sesuai dengan bagaimana akal tersebut berjalan dan berhenti. Yang oleh para ulama Indonesia disebut dengan "Liberalisme agama.", serta telah sepakat diharamkan sesuai dengan keputusan MUNAS MUI tahun 2005.

4. Satu hal lagi sebagai pendahuluan, komentar ini saya tulis demi menghindari "debat membosankan" dengan mereka-mereka yang menjadi pengikut paham pemikiran orang - orang yang kecewa dan tidak puas dengan doktrin-doktrin agama sendiri yang sudah dirubah-rubah dan dipalsukan itu. Jadi, mohon dimaklumi jika ada kata2 atau kalimat yang "baper" alias bawa2 perasaan.

Saya bersyukur, di negara yang saat ini pemerintahnya memihak pada sekularisme dan liberalisme ini, masih ada orang-orang seperti ust Akmal Syafri (pendiri Indonesia tanpa JIL) yang senantiasa istiqamah mencounter gelombang liberalisasi pemikiran umat, terlebih para generasi santri mudanya.
Kenapa saya sebut generasi santri, sebab merekalah yang akhir2 ini _setidaknya satu dekade terakhir_ menjadi sasaran agen2 liberalist dalam menyebar luaskan paham mereka. Hal itu secara sederhana terbukti dengan berderetnya nama - nama santri yang menjadi corong sekaligus pimpinan dari para pemikir "keblinger" (meminjam sebutan pak Mahfud MD ketika menanggapi komentar "ngawur" salah satu tokohnya tentang ibadah umrah yang dianggap telah menjadikan agama mahal ) itu.

Apakah yang ingin saya komentari?

Pertama; Apakah pemikiran mereka benar-benar mengajak pada kebebasan? Jawaban saya TIDAK! Karena sejatinya mereka tengah dijajah Barat dan para "tentara" pemikirannya dengan pemikiran-pemikiran mereka. Hifzhun Nafs yang mereka terjemahkan dengan al hurriyah (kebebasan diri) sejatinya adalah kebebasan semu belaka.

Kalau boleh secara kasar saya sebut di sini, tak ada manusia di muka bumi ini yang benar-benar merdeka sepenuhnya. Manusia semua tercipta dengan status dan fitrah yang sama sebagai hamba. Namun, yang menjadi pembeda adalah siapa yang menjadi tuan mereka. Itulah yang menjadi pembedanya. Selama fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang saling mempengaruhi masih berlaku, pasti ada yang mempengaruhi dan dipengaruhi, dan siapapun yang dipengaruhi, dia sudah secara tidak langsung mengoyak kebebasan dan kemerdekaannya. Begitu pula dalam berpikir.

Saya ambil contoh real tentang perbedaan ini dari kondisi terkini antara Indonesia dan malaysia yang tercatat sejarah sama-sama bangsa yang pernah menyicipi pahitnya penjajahan, bedanya Indonesia dijajah Belanda sedang Malaysia dijajah Inggris. Perbedaannya pun sangat mencolok sekarang dalam banyak hal meskipun kedua bangsa ini terbilang masih serumpun dan sebudaya dengan bahasa, teritorial dan cuaca yang tak jauh berbeda. Bahkan, Indonesia lebih dulu merdeka dan terkesan bermartabat dibanding Malaysia (dengan kemerdekaan yang diraih tangan-tangan para pejuang dari pemerintah kolonial).

Apakah yang membedakan? Tentu selain usaha bangsanya, juga peran "tuan" sebelumnya.

Begitu pula dengan cara berpikir kita. Perang pemikiran atau ghazwul fikri yang belakangan selepas perang dunia ke 2 semakin berkecamuk, menjadikan kita terjajah dan terpengaruhi dengan sadar ataupun tidak oleh pemikiran-pemikiran luar. Inilah yang ingin saya sebut dengan "perbudakan pemikiran"; perbudakan termutakhir dalam perjalanan jatuh-bangunnya peradaban manusia. Kenapa demikian? karena terpengaruhi, mengekor, mengikuti, atau berpasrah identik dengan penghmbaan.
Terkait dengan hal ini, saya ingin mengutip perkataan historis Rib'ie bin Amir yang sangat terkenal itu:

"Untuk mengeluarkan manusia dari menghambakan diri pada para hamba, kepada penghambaan total kepada Sang Pemilik hamba."

Oleh karena itu, sekarang tinggal memilih, ingin dijajah pemikiran bangsa lain atau "dijajah" dengan bermartabat selayaknya hamba Sang Pemilik seluruh pemikiran...

Sekian, semoga bermanfaat. komentar lainnya segera menyusul, salam kebebasan. Allahu Akbar. 
sile bace lengkapnye >>

Rabu, 24 Juni 2015

Gagasan Islam Nusantara, Gagasan Pemikiran Bingung

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....


Gagasan Islam Nusantara, Gagasan Pemikiran Bingung
Oleh: Imam Gazali

Belakangan ini ramai dibicarakan masyarakat tentang Islam Nusantara. Sebutan baru yang mendapatkan ruang popularitas di era pemerintahan ‘terbaru’ di Indonesia. Sebuah istilah yang katanya sudah lama tergagas oleh salah satu tokoh Ormas pelopor Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Nahdhatul Ulama di negeri Nusantara, namun tiba-tiba menjadi sangat terkenal sejak dijadikan sebuah tema dalam Muktamar ke-33 Organisasi tersebut di Jawa Timur.

Popularitasnya semakin tersohor setelah menjadi wacana penting yang disuarakan lewat corong kepresidenan dan wakilnya dalam banyak kesempatan. Terakhir, sekaligus menjadi klimaks perdebatan dan polemik dikalangan masyarakat, orang nomor satu Indonesia tersebut menyinggungnya pada pidato Presiden dalam acara Munas Alim Ulama NU dan Menyambut Ramadhan 1436 H/2015 M.

Pidato itu pula yang menjadi pendorong penulis untuk menuliskan artikel sederhana ini dalam rangka mempertanyakan sekaligus mengoreksi, benarkah kita betul-betul butuh istilah ini? Benar-benar haruskah bangsa ini _yang sejak awal mula penerimaannya terhadap Islam tidak pernah merasa kurang dengan hanya satu nama sehingga menuntut untuk ditambah Nusantara dibelakangnya_ menggunakan Istilah yang disponsori ‘pemerintahan baru’ ini?

Sekedar bernostalgia di masa lalu, saat penulis masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah dikampung, setiap kali ingin memulai pelajaran kami membaca doa “Radhitu billaahi Rabban, wa bil Islami dinan...”, tidak pernah sekali pun kami diajarkan “... wa bil Islami Nusantara dinan...” meskipun orang tua dan guru-guru kami adalah orang NU. Doa itu terus diajarkan oleh ayah-ayah, ibu-ibu, ustadz/h, guru-guru surau dan pesantren-pesantren hingga pemerintahan sebelum pemerintahan terkhir. Entah pada masa pemerintahan ini, masihkah doanya seperti itu atau sudah ada nusantaranya.

Baiklah, mari kita sedikit membahas lebih jauh tentang Islam Nusantara tersebut, apa dan bagaimana sebenarnya?

Terus terang hingga saat tulisan ini ditulis, penulis masih bingung dan gagal paham apa makna dan tujuan yang dimaksud dengan istilah Islam Nusantara. Tersebab keterbatasan penulis sendiri dan banyaknya definisi serta penjabaran yang belum secara tuntas mendefinisikan dan menjabarkannya.

Oleh karena itu, demi sebagai perbandingan baiknya penulis kutip penjelasan para penggagasnya saja sebagai barikut.

Merujuk pada apa yang dipaparkan bapak Presiden, seperti dilansir Eramuslim.com, Islam Nusantara adalah Islam yang penuh sopan santun, tata krama dan toleransi.

“Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, Itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.” – Joko Widodo, Eramuslim.com edisi Rabu, 1 Ramadhan 1436 / 17 Juni 2015.

Sedangkan menurut Azyumardi Azra, Islam Nusantara yang dimaksud adalah ‘Islam yang berbunga-bunga’ (Flowery Islam), dengan ritual-ritual seperti tahlilan, nyekar (ziarah kubur dengan menabur bunga), walimatus safar, khitanan, tasyakkuran, empat bulanan, tujuh bulanan kehamilan dan lain sebagainya yang ada di Nusantara. (Republika, 18 juni 2015)

Satu definis lagi untuk Islam nusantara dari salah satu pendukung model gagasan ini, dia menjelaskan bahwa Islam Nusantara bermaksud ‘hanya’ sebagai proses eskavasi arkeologi ilmu pengetahuan dengan mempelajari karya-karya ulama Nusantara, namun tetap mengkaji karya ulama lintas teritorial dan zaman.

Dan masih banyak lagi definisi-definisi lain yang secara substansi dan maknanya berbeda dengan definisi-definisi di atas namun sebab berbagai keterbatasan tidak bisa penulis sebutkan dalam kesempatan ini.

Tentu saja, aneka ragam definisi yang ada ini membuat penulis bertanya-tanya, bagaimana bisa sebuah istilah yang belum disepakati dan dipahami jami’ dan mani’nya itu bisa menjadi sebuah tema dan wacana Nasional? Apakah hanya untuk model ‘try and error’ seperti kebiasaannya atau memang sengaja dibuat demikian demi menciptakan polemik yang juga tidak dapat dipertanggung jawabkan?

Tentu saja, pada kenyataannya tujuan terakhir lebih mendekati hakikat dan maksud istilah yang diada-adakan ini; Menciptakan polemik dikalangan masyarakat, baik dikalangan para pemikir maupun masyarakat awam.

Di kalangan pemikir akan menjadi matapicu perdebatan yang akan memecah belah dan tidak berujung, sedangkan di masyarakat awam menjadi akar masalah yang berujung pada sikap rasis dan mendiskreditkan bangsa lain selain pribumi Nusantara.

Sebab secara otomatis, ketika menyebut Islam Nusantara harus ada Islam Non Nusantara sebagai lawan kata dari Istilah tersebut.

Ketika menyebutkan Islam Nusantara sebagai Islam yang sopan santun, penuh tata krama dan toleransi, anak SD saja sudah paham sejak baru mendaftar sekolah bahwa Islam tanpa kata Nusantara juga demikian. Adakah Islam non Nusantara tidak demikian?

 Jika dipertegas lagi, ketika mendifinisikan Islam Nusantara adalah Islam yang lembut, sopan, penuh tatakrama dan toleransi secara tidak langsung menyatakan Islam non Nusantara tidak lembut, tidak lembut, tidak sopan, dan tidak toleran.

Jika menyebutkan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang berwarna dengan ritual-ritual yang disebut di atas, maka secara otomatis yang tidak menerima ritual-ritual tersebut sebagai ritual Islam tidak termasuk bagian dari Islam Nusantara alias non Nusantara, lalu Muhammadiyah dan Persatuan Islam Islam apa? Padahal dua organisasi tersebut adalah seakar dan serumpun dengan NU serta senasib seperjuangan dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Jika menyebutkan Islam Nusantara sebagai proses penelusuran ilmu pengetahuan dari karya-karya ulama Nusantara, maka itu adalah hal yang kata anak sekarang ‘alay’. Sebab mereka, guru-guru dan pejuang-pejuang Islam Nusantara itu tidak pernah menyebut apa yang mereka perjuangkan adalah Islam Nusantara.

Dan satu catatan penting, fakta dan penerapan istilah Islam Nusantara yang dimaksud tidak sesederhana dan sesempit mencari dan menghimpun karya-karya ulama Nusantara.

Setelah pemikiran panjang, penulis menyimpulkan bahwa gagasan model Islam Nusantara adalah gagasan pemikiran orang bingung. Kebingungan yang entah dari mana, apakah karena keterbatasan pengetahuan penggagas dan pengusungnya akan Islam, ataukah karena bingung membuat celah merusak ke-Otentik-an dan kemurnian Islam itu sendiri.

Terkait hal perusakan kemurnian Islam yang dimaksud, penulis mengambil kesimpulan dari jejak rekam peristiwa-peristiwa dalam negeri yang seringkali mengarah kepada hal demikian sejak awal bermulanya pemerintahan. Dimulai dari polemik status agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), pembacaan Alquran dengan langgam jawa, wacana menghormati orang yang tidak berpuasa Ramadhan, hingga pelarangan memutar kaseh ngaji Alquran yang dinilai polusi. Wallahul Musta’an.

Terlebih, justru dengan diwacanakannya Islam Nusantara ini, tidak ada kebaikan yang didapat namun di sisi yang berlawanan kemudharatannya sangat banyak sehingga tidak heran jika Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Riziq Sihab, menuliskan istilah ini sebagai istilah yang sesat lagi menyesatkan serta 8 bantahannya di situs suaraislam.com seperti dilansir Eramuslim.com edisi Rabu 17 Juni 2015.

Akhirnya, dengan segenap hati penulis berharap agar istilah Islam Nusantara ini segera dihapuskan, atau setidaknya diperjelas dan disepakati terlebih dahulu maksud dan tujuannya, agar segala polemik, perdebatan dan keresahan di masayarakat segera mereda tanpa adanya berbagai prasangka yang tersisa.  Wallahul muwaffiq Ilaa Aqwamitthariq.
sile bace lengkapnye >>

Rabu, 10 Juni 2015

Tak Harus Memiliki

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....


Tak Harus Memiliki.

Aku telah terbiasa mencintai tanpa memiliki
Aku telah terbiasa mengagumi tanpa mengakui
Lantas, mengapa kau begitu khawatir kepadaku?
mengapa kau begitu takut menyakitiku?
Atau kau terlalu ngeri menjadi milikku...
Lihatlah, setiap pagi aku mencintai mentari
Tak pernah sekalipun aku membungkusnya untuk diriku sendiri...
Bahkan mengaku ia hanya milikku aku tak berani
Lalu mengapa kau begitu resah?
Ataukah hanya sangkaanku yang salah...
Tidak, tetaplah di situ... tetaplah dalam kehidupanmu
Aku di sini saja.. dengan potongan hati ini... dengan sejumput cinta ini... dengan selaksa rindu ini...
Menikmatinya seperti makan malam paling sempurna setiap malam...
Aku akan tetap di sini dengan perasaanku
tak akan mengganggumu....

sile bace lengkapnye >>

Sabtu, 06 Juni 2015

"KEBENARAN MUTLAK HANYA MILIK TUHAN?"

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....


Bagi yang meyakini tentang Allah swt dan sifat-sifatNya yang Maha segala-galanya, tentu tidak akan menyangkal pernyataan “kebenaran mutlak hanya milik Allah swt”

Namun satu hal yang perlu dipertanyakan; untuk apa kalimat itu diucapkan? Adakah ia justru menjadi pelarian seseorang dari kebenaran itu sendiri, dengan berindung dibalik “kebenaran-kebenaran” yang ia inginkan?

Hemat saya, kalimat itu sangat biasa. Tidak perlu dijadikan teori. Toh apa hebatnya? Kedengarannya pun biasa-biasa aja. Anak-anak TK pun sudah biasa dengan pernyataan itu.

Biasanya, kalimat tersebut selalu diiringi kalimat lain sebelum atau sesudahnya, seperti; “kebenaran itu relatif, kebenaran mutlak hanya milik Allah.”

Sekarang mari kita kembali pertanyakan lagi, Benarkah kebenaran itu relatif?

Jawabannya adalah tidak. Kebenaran selalu dan akan terus bersifat mutlak.

Kebenaran adalah benar, betapapun seseorang melihatnya salah, atau sebaliknya kesalahan atau kebatilan adalah salah, betapapun seseorang melihatnya benar.

Akal manusia sangat tidak sanggup untuk menggapai semua hakikat, dan ketika ia menemukan kebenaran itu sendiri _lagi-lagi karena keterbatasannya_ ia pun masih bisa ragu kembali apakah kebenaran yang ia temukan itu adalah benar-benar benar seperti halnya yang ia harapkan.

Di sinilah pentingnya mengkolaborasikan kebenaran yang dicapai akal dengan kebenaran yang ditetapkan oleh wahyu dari yang Maha Benar demi mencapai hakikat-hakikat kebenaran itu sendiri.

 Cara berpikir akal manusia memang relatif, sehingga sangkaan- sangkaan kebenaran yang dihasilkan dari persepektifnya bisa saja bersifat relatif pula.

Namun harus menjadi sebuah catatan penting bahwa; kebenaran adalah hal lain persepektif atau cara pandang adalah hal lain.
Keduanya berbeda dan harus dibedakan.

Kebenaran itu adalah wujud seperti halnya kebatilan. Keduanya adalah nyata meski tidak bisa kita jismi kan seperti halnya benda-benda. Sama seperti wujudnya kebaikan, keburukan, kejahatan dan benda-benda maknawi lainnya. Sedangkan cara pandang sendiri, adalah cara dan sudut seseorang itu melihat wujud kebenaran. Jelas, yang satu tidak bisa mewakili/diwakili yang lainnya.

Relatifitas cara pandang dan berpikir akal serta keterbatasannya untuk mencapai semua hakikat bukan lantas berarti bahwa akal selamanya tidak akan bisa menemukan kebenaran sama sekali, sebab Allah swt dengan sifatnya yang Maha Rahim telah memberikan garis-garis dan rambu-rambu kepada kebenaran tersebut lewat ayat-ayatNya yang Naqli dan Aqli.

Oleh karena itu, Allah swt secara tegas menenangkan orang-orang beriman dalam ayatNya; “Kebenaran (Al Haq) itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi orang yang ragu.” Maksudnya, memang kebenaran itu hanya milik Allah swt., namun Allah swt pun dengan kehendaknya menganugerahkan kebenaran itu kepada manusia lewat wahyu yang diturunkanNya. Apakah kamu ragu dengan hal itu?

Inilah beda dan hebatnya cara berpikir seorang muslim, dia tidak akan sama _kecuali yang sok-sok menyamakan diri_ dengan orang-orang yang mengaku beragama namun secara bersamaan membenci dan menolak ayat-ayat dan syariat-syari’at agama mereka. Mereka berpikiran seperti itu karena akal mereka tidak puas dengan doktrin-doktrin yang dipaksakan agama mereka sehingga mereka pun mencari ‘alternatif’ lain dengan ‘membebaskan’ akal mereka sendiri lewat teori anak kecil yang saya sebut di atas.

‘Kecewaan’ yang mendalam terhadap logika agama mereka menjadikan mereka membedakan antara logika agama dengan logika mereka sendiri, sehingga pada akhirnya kesimpulan yang mereka ambil adalah; “beriman tanpa beragama” atau yang mereka sebut “faith without religion”, atau dalam ungkapan lain dari Naisbitt dan Patricia Aburdene; “Spirituality yes, organized religion no!” lalu di antara turunan-turunannya cara bepikirnya, “KEBENARAN RELATIF, KEBENARAN MUTLAK HANYA MILIK TUHAN!”

Namun, karena adanya memang lemah, cara berpikir orang seperti ini memiliki banyak kelemahan, di antaranya;

1. Jika kebenaran mengikut relatifitas cara bepikir setiap akal individu, maka bisa dipastikan setiap individu ‘berhak’ mengaku mendapat kebanaran dengan akalnya. Dengan kata lain, sebagai kebalikannya, setiap pemahaman lain selain yang ditemukan akalnya adalah salah. Akhirnya, tidak ada kebenaran yang benar-benar benar.  

2. Jika kebenaran mengikuti relatifitas cara berpikir akal, sekarang pertanyaannya apakah yang menjadi  ukuran kebenaran?

Lalu pertanyaan selanjutnya, kebenaran akal yang mana yang paling mendekati kebenaran itu sendiri?

Ketika semua akal sudah sepakat bahwa satu hal adalah kebenaran di suatu masa, namun ternyata di masa yang akan datang kebenaran ternyata terbukti salah, bukankah itu berarti selama tenggang waktu itu tidak ada kebenaran tentang hal tersebut? Dan manusia yang hidup di masa ke’salahpilihan’ kebenaran itu hidup dengan kebenaran yang salah?

3. Taruhlah seseorang dengan usaha yang maksimal telah berhasil mencapai titik terdekat dengan kebenaran, atau pada titik kebenaran itu sendiri, apakah akhirnya kedudukan akal orang tersebut? Di manakah posisinya dari kalimat “kebenaran mutlak” itu hanya milik Allah swt.

Akhirnya, setelah susah payah orang mendefinisikan kebenaran, ia akan bingung sendiri dengan teori kebenaran itu sendiri.

4. Jika semua hasil kebenaran dari cara berpikir akal manusia relatif dan parsial kontekstual, maka secara bersamaan cara berpikir semacam itu pun tidak bisa diterima. Sebab, teori tersebut pun pasti muncul dari pemikiran akal seseorang, sehingga individu lain berhak menolaknya sebagai pedoman dalam teori menghasilkan kebenaran.

Barangkali cukup sekian saja dulu, ‘jalan-jalan’nya, lain kali kita sambung lagi. Selamat rehat

Saudaramu, Imam Gazali.
sile bace lengkapnye >>