AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Sabtu, 06 Juni 2015

"KEBENARAN MUTLAK HANYA MILIK TUHAN?"

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....


Bagi yang meyakini tentang Allah swt dan sifat-sifatNya yang Maha segala-galanya, tentu tidak akan menyangkal pernyataan “kebenaran mutlak hanya milik Allah swt”

Namun satu hal yang perlu dipertanyakan; untuk apa kalimat itu diucapkan? Adakah ia justru menjadi pelarian seseorang dari kebenaran itu sendiri, dengan berindung dibalik “kebenaran-kebenaran” yang ia inginkan?

Hemat saya, kalimat itu sangat biasa. Tidak perlu dijadikan teori. Toh apa hebatnya? Kedengarannya pun biasa-biasa aja. Anak-anak TK pun sudah biasa dengan pernyataan itu.

Biasanya, kalimat tersebut selalu diiringi kalimat lain sebelum atau sesudahnya, seperti; “kebenaran itu relatif, kebenaran mutlak hanya milik Allah.”

Sekarang mari kita kembali pertanyakan lagi, Benarkah kebenaran itu relatif?

Jawabannya adalah tidak. Kebenaran selalu dan akan terus bersifat mutlak.

Kebenaran adalah benar, betapapun seseorang melihatnya salah, atau sebaliknya kesalahan atau kebatilan adalah salah, betapapun seseorang melihatnya benar.

Akal manusia sangat tidak sanggup untuk menggapai semua hakikat, dan ketika ia menemukan kebenaran itu sendiri _lagi-lagi karena keterbatasannya_ ia pun masih bisa ragu kembali apakah kebenaran yang ia temukan itu adalah benar-benar benar seperti halnya yang ia harapkan.

Di sinilah pentingnya mengkolaborasikan kebenaran yang dicapai akal dengan kebenaran yang ditetapkan oleh wahyu dari yang Maha Benar demi mencapai hakikat-hakikat kebenaran itu sendiri.

 Cara berpikir akal manusia memang relatif, sehingga sangkaan- sangkaan kebenaran yang dihasilkan dari persepektifnya bisa saja bersifat relatif pula.

Namun harus menjadi sebuah catatan penting bahwa; kebenaran adalah hal lain persepektif atau cara pandang adalah hal lain.
Keduanya berbeda dan harus dibedakan.

Kebenaran itu adalah wujud seperti halnya kebatilan. Keduanya adalah nyata meski tidak bisa kita jismi kan seperti halnya benda-benda. Sama seperti wujudnya kebaikan, keburukan, kejahatan dan benda-benda maknawi lainnya. Sedangkan cara pandang sendiri, adalah cara dan sudut seseorang itu melihat wujud kebenaran. Jelas, yang satu tidak bisa mewakili/diwakili yang lainnya.

Relatifitas cara pandang dan berpikir akal serta keterbatasannya untuk mencapai semua hakikat bukan lantas berarti bahwa akal selamanya tidak akan bisa menemukan kebenaran sama sekali, sebab Allah swt dengan sifatnya yang Maha Rahim telah memberikan garis-garis dan rambu-rambu kepada kebenaran tersebut lewat ayat-ayatNya yang Naqli dan Aqli.

Oleh karena itu, Allah swt secara tegas menenangkan orang-orang beriman dalam ayatNya; “Kebenaran (Al Haq) itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi orang yang ragu.” Maksudnya, memang kebenaran itu hanya milik Allah swt., namun Allah swt pun dengan kehendaknya menganugerahkan kebenaran itu kepada manusia lewat wahyu yang diturunkanNya. Apakah kamu ragu dengan hal itu?

Inilah beda dan hebatnya cara berpikir seorang muslim, dia tidak akan sama _kecuali yang sok-sok menyamakan diri_ dengan orang-orang yang mengaku beragama namun secara bersamaan membenci dan menolak ayat-ayat dan syariat-syari’at agama mereka. Mereka berpikiran seperti itu karena akal mereka tidak puas dengan doktrin-doktrin yang dipaksakan agama mereka sehingga mereka pun mencari ‘alternatif’ lain dengan ‘membebaskan’ akal mereka sendiri lewat teori anak kecil yang saya sebut di atas.

‘Kecewaan’ yang mendalam terhadap logika agama mereka menjadikan mereka membedakan antara logika agama dengan logika mereka sendiri, sehingga pada akhirnya kesimpulan yang mereka ambil adalah; “beriman tanpa beragama” atau yang mereka sebut “faith without religion”, atau dalam ungkapan lain dari Naisbitt dan Patricia Aburdene; “Spirituality yes, organized religion no!” lalu di antara turunan-turunannya cara bepikirnya, “KEBENARAN RELATIF, KEBENARAN MUTLAK HANYA MILIK TUHAN!”

Namun, karena adanya memang lemah, cara berpikir orang seperti ini memiliki banyak kelemahan, di antaranya;

1. Jika kebenaran mengikut relatifitas cara bepikir setiap akal individu, maka bisa dipastikan setiap individu ‘berhak’ mengaku mendapat kebanaran dengan akalnya. Dengan kata lain, sebagai kebalikannya, setiap pemahaman lain selain yang ditemukan akalnya adalah salah. Akhirnya, tidak ada kebenaran yang benar-benar benar.  

2. Jika kebenaran mengikuti relatifitas cara berpikir akal, sekarang pertanyaannya apakah yang menjadi  ukuran kebenaran?

Lalu pertanyaan selanjutnya, kebenaran akal yang mana yang paling mendekati kebenaran itu sendiri?

Ketika semua akal sudah sepakat bahwa satu hal adalah kebenaran di suatu masa, namun ternyata di masa yang akan datang kebenaran ternyata terbukti salah, bukankah itu berarti selama tenggang waktu itu tidak ada kebenaran tentang hal tersebut? Dan manusia yang hidup di masa ke’salahpilihan’ kebenaran itu hidup dengan kebenaran yang salah?

3. Taruhlah seseorang dengan usaha yang maksimal telah berhasil mencapai titik terdekat dengan kebenaran, atau pada titik kebenaran itu sendiri, apakah akhirnya kedudukan akal orang tersebut? Di manakah posisinya dari kalimat “kebenaran mutlak” itu hanya milik Allah swt.

Akhirnya, setelah susah payah orang mendefinisikan kebenaran, ia akan bingung sendiri dengan teori kebenaran itu sendiri.

4. Jika semua hasil kebenaran dari cara berpikir akal manusia relatif dan parsial kontekstual, maka secara bersamaan cara berpikir semacam itu pun tidak bisa diterima. Sebab, teori tersebut pun pasti muncul dari pemikiran akal seseorang, sehingga individu lain berhak menolaknya sebagai pedoman dalam teori menghasilkan kebenaran.

Barangkali cukup sekian saja dulu, ‘jalan-jalan’nya, lain kali kita sambung lagi. Selamat rehat

Saudaramu, Imam Gazali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan isi komentar antum antunna di sini: