bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....
............................................................................ lanjutan ......................................................................
............................................................................ lanjutan ......................................................................
Motorku melaju santai dan terasa ringan. Ada satu
perasaan lega yang seakan baru aku dapatkan. Tak henti ku bersyukur di
sepanjang jalan sambil terus mengikuti jalan pikiran yang terus berkelana ke
dunia perenungan. Tanpa sepenuhnya menyadari bahwa saat itu aku sedang
berkendara roda dua, aku sibuk membayangkan sebuah angan-angan yang
menyenangkan. Tentang sebuah negeri yang zaman sekarang ini hanya bisa berada
dalam angan-angan. Negeri penuh nikmat dan kebarokahan yang pernah ada di zaman
emas umat islam. Negeri makmur dan damai yang semua penduduknya memiliki hati
yang lembut dan penuh kasih sayang serta nilai-nilai kemuliaan. Sebuah negeri
yang dapat dikatakan sebagai negeri idaman. Negeri sang Khalifah ke lima Umar
bin Abdul Aziz.
Aku membayangkan, betapa indahnya negeri yang
subur dan kaya raya ini, jika memiliki nilai kemuliaan yang tinggi seperti pada
negeri yang dahulu berada di bawah pimpinan khalifah Umar Bin Abdul Aziz, cicit
dari sahabat mulia, Umar bin Al Khattab, dimana setiap orang dalam negeri itu
berada pada kesejahteraan yang hanya tercatat sekali dalam sejarah sehingga tak
seorangpun mau meminta-minta, bahkan diberi zakat mereka tak menerimanya. Iya,
zakat hanya diperuntukkan bagi orang-orang lemah dan papa.
Alangkah indahnya negeri yang hijau tanahnya, biru
laut dan langitnya, segar dan stabil udara dan cuacanya, beraneka ragam satwa
dan tumbuhannya, serta berlimpah
kekayaan alamnya ini diramaikan dan dihuni oleh manusia-manusia yang juga dapat
mensyukurinya. Pemimpin-pemimpinnya yang terbaik dari mereka, adil dan
bertakwa. Rakyatnya juga bertakwa dan sejahtera.
Aku sangat yakin, tidak mungkin dalam satu negeri
yang besar, sekaya apa pun negeri itu, di zaman abad pertengahan yang
kekayaannya jauh lebih lawas dan terbatas dari zaman kita sekarang, kekayaan
setiap orang akan sama sehingga tak ada satupun yang lebih miskin sehingga
pantas menerima pemberian yang lebih kaya. Usaha orang berbeda, rezeki orang
juga berbeda, dan pastinya kekayaan mereka juga akan berbeda. Itu pasti. Tapi
menariknya, di negeri sang Khalifah ke lima, setiap orang merasa cukup dengan
kekayaannya sendiri. Itulah yang disebut kekayaan hati.
Dari sini, aku menarik kesimpulan bahwa sebenarnya
jika sifat kekayaan yang masuk ke dalam hati seseorang, maka ia akan kaya dan mulia,
namun jika yang masuk ke dalam hatinya adalah “materi kekayaan” sehingga ia
berlebihan dalam mencintainya, maka ia akan menjadi miskin dan terhina. Kemiskinan
dan kehinaan yang sebenarnya hingga ia tak pernah merasa lebih, bahkan tak
pernah merasa cukup dengan yang dimilikinya hingga terasa berat untuk berbagi
dengan orang disekitarnya. Dan itulah yang membedakan negeri kita dengan negeri
Umar bin Abdul Aziz. Maka sangatlah benar alim nan bijak mewasiatkan,
‘genggamlah dunia dengan tanganmu, bukan dengan hatimu’. Dan benar pulalah
Rasul junjungan saw. mengatakan bahwa kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan
hati.
Semakin
banyak harta yang masuk ke dalam hati, semakin sulit hartanya dikeluarkan untuk
kebaikan. Semakin dalam harta itu menghujam, semakin banyak ia menghabiskan
ruang. Semakin sesak pula hatinya untuk memberi ruang bagi kelembutan dan kasih
sayang. Dan pastinya, cahaya yang masuk pun tak akan menemukan tempat lagi,
maka jadilah hatinya gelap gulita dan mengeras. Bagaikan sebuah bola yang terus
dijejali pasir kerikil. Maka, jika ingin kembali lapang dan terang, si pemilik
hati harus mengurangi semua ‘muatan’ hati itu sedikit demi sedikit hingga tak
terlalu penuh dengan keduniaan. Begitulah tuntutannya. Karena Allah hanya
memberi satu hati untuk kita. Tidak lebih. Dan sayang sekali, hati yang tunggal
itu tak bisa dibagi-bagi.
Orang-orang yang menutup mata dari orang lain dan
keadaan sosial di sekitarnya adalah orang-orang yang demikian adanya. Hatinya
hanya penuh dengan hammud dun_ya, kepentingan dan urusan keduniaan. Tak
tersisa lagi ruang untuk pahala yang akan membangun rumah akhiratnya. Hatinya
mengeras dan sesak dengan tujuan-tujuan dan harapan-harapan dunia. Hatinya
sakit. Tak bisa lagi menimbang dan memilih antara dunia penuh ujian dan fana
dengan akhirat yang penuh nikmat dan selamanya. Bahkan, hatinya menjadi mati
rasa, tuli dan tak peka.
Well, akhirnya aku merasa butuh waktu sejenak untuk
menyeimbangkan antara logika dan intuisi dalam menyikapi sebuah persoalan
sosial ini. Aku ingin mencoba menimbang
kebaikan antara memberi pengemis atau menahan harta dari mereka.
Menimbang manfaat dan mudharat memberi pada
pengemis;
Manfaat;
1.
Tetap akan mendapatkan pahala shadaqah, karena
satu kebaikan akan dilipat gandakan hingga 10 kali lipat. Bahkan lebih pada
memberi bantuan kepada yang membutuhkan sedankan hal tersebut akan membawa
bantuan Allah saat aku membutuhkan.
2.
membebaskan seudaraku dari kesempitan hidup di
dunia akan menjadi sebab Allah membebaskanku dari kesempitan akhirat.
3.
Melembutkan jiwaku yang keras tersebab dosa dan
kekikiran, bahkan menjadi tolak ukur kuwalitas keimananku.
4.
Pasti akan Allah ganti berapapun yang kukeluarkan,
bahkan berkali-kali lebih baik sebab apa yang di sisi Allah itulah yang paling
baik dan kekal.
5.
Bagi si pengemis, barangkali bisa memberi manfaat
lebih, bahkan bisa menjadi
Akhirnya, pada kesempatan ini,
aku ingin menyimpulkan beberapa hal;
Yang pertama, bahwa selamanya tetap tangan di atas lebih mulia
dari tangan di bawah.
Yang kedua, jika memang kita berat memberi pada pengemis demi memberi
mereka pelajaran untuk berusaha, baiknya tidak memukul rata semua pengemis
adalah pemalas. Liat dan timbang-timbanglah, apakah dia benar-benar mebutuhkan
uluran tangan tau tidak. Satu hal, kekhwatiran untuk salah memberi atau memberi
pada orang yang salah adalah salah satu penyebab kekikiran.
Yang ketiga, kepekaan hati kita adalah bukti kelembutannya
Yang keempat, kelembutan hati adalah bukti keimanannya
Yang kelima, penyakit itu bukannya hanya menjadi pengemis, tapi ketika ada
pengemis di hadapan kita dan kita enggan memberinya serta beralasan untuk
menutupinya.
Sekian dulu kisah ini aku tuliskan,
barangkali ini hanya sekedar curhatan, tapi kuharap akan membawa manfaat dan
kebaikan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan isi komentar antum antunna di sini: