AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Selasa, 01 April 2014

Sejenak Merenung di bawah Lampu Merah Simpang Sei Panas 2

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....
............................................................................ lanjutan ......................................................................
Motorku melaju santai dan terasa ringan. Ada satu perasaan lega yang seakan baru aku dapatkan. Tak henti ku bersyukur di sepanjang jalan sambil terus mengikuti jalan pikiran yang terus berkelana ke dunia perenungan. Tanpa sepenuhnya menyadari bahwa saat itu aku sedang berkendara roda dua, aku sibuk membayangkan sebuah angan-angan yang menyenangkan. Tentang sebuah negeri yang zaman sekarang ini hanya bisa berada dalam angan-angan. Negeri penuh nikmat dan kebarokahan yang pernah ada di zaman emas umat islam. Negeri makmur dan damai yang semua penduduknya memiliki hati yang lembut dan penuh kasih sayang serta nilai-nilai kemuliaan. Sebuah negeri yang dapat dikatakan sebagai negeri idaman. Negeri sang Khalifah ke lima Umar bin Abdul Aziz.
Aku membayangkan, betapa indahnya negeri yang subur dan kaya raya ini, jika memiliki nilai kemuliaan yang tinggi seperti pada negeri yang dahulu berada di bawah pimpinan khalifah Umar Bin Abdul Aziz, cicit dari sahabat mulia, Umar bin Al Khattab, dimana setiap orang dalam negeri itu berada pada kesejahteraan yang hanya tercatat sekali dalam sejarah sehingga tak seorangpun mau meminta-minta, bahkan diberi zakat mereka tak menerimanya. Iya, zakat hanya diperuntukkan bagi orang-orang lemah dan papa.
Alangkah indahnya negeri yang hijau tanahnya, biru laut dan langitnya, segar dan stabil udara dan cuacanya, beraneka ragam satwa dan tumbuhannya,  serta berlimpah kekayaan alamnya ini diramaikan dan dihuni oleh manusia-manusia yang juga dapat mensyukurinya. Pemimpin-pemimpinnya yang terbaik dari mereka, adil dan bertakwa. Rakyatnya juga bertakwa dan sejahtera.
Aku sangat yakin, tidak mungkin dalam satu negeri yang besar, sekaya apa pun negeri itu, di zaman abad pertengahan yang kekayaannya jauh lebih lawas dan terbatas dari zaman kita sekarang, kekayaan setiap orang akan sama sehingga tak ada satupun yang lebih miskin sehingga pantas menerima pemberian yang lebih kaya. Usaha orang berbeda, rezeki orang juga berbeda, dan pastinya kekayaan mereka juga akan berbeda. Itu pasti. Tapi menariknya, di negeri sang Khalifah ke lima, setiap orang merasa cukup dengan kekayaannya sendiri. Itulah yang disebut kekayaan hati.
Dari sini, aku menarik kesimpulan bahwa sebenarnya jika sifat kekayaan yang masuk ke dalam hati seseorang, maka ia akan kaya dan mulia, namun jika yang masuk ke dalam hatinya adalah “materi kekayaan” sehingga ia berlebihan dalam mencintainya, maka ia akan menjadi miskin dan terhina. Kemiskinan dan kehinaan yang sebenarnya hingga ia tak pernah merasa lebih, bahkan tak pernah merasa cukup dengan yang dimilikinya hingga terasa berat untuk berbagi dengan orang disekitarnya. Dan itulah yang membedakan negeri kita dengan negeri Umar bin Abdul Aziz. Maka sangatlah benar alim nan bijak mewasiatkan, ‘genggamlah dunia dengan tanganmu, bukan dengan hatimu’. Dan benar pulalah Rasul junjungan saw. mengatakan bahwa kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan hati.
 Semakin banyak harta yang masuk ke dalam hati, semakin sulit hartanya dikeluarkan untuk kebaikan. Semakin dalam harta itu menghujam, semakin banyak ia menghabiskan ruang. Semakin sesak pula hatinya untuk memberi ruang bagi kelembutan dan kasih sayang. Dan pastinya, cahaya yang masuk pun tak akan menemukan tempat lagi, maka jadilah hatinya gelap gulita dan mengeras. Bagaikan sebuah bola yang terus dijejali pasir kerikil. Maka, jika ingin kembali lapang dan terang, si pemilik hati harus mengurangi semua ‘muatan’ hati itu sedikit demi sedikit hingga tak terlalu penuh dengan keduniaan. Begitulah tuntutannya. Karena Allah hanya memberi satu hati untuk kita. Tidak lebih. Dan sayang sekali, hati yang tunggal itu tak bisa dibagi-bagi.
Orang-orang yang menutup mata dari orang lain dan keadaan sosial di sekitarnya adalah orang-orang yang demikian adanya. Hatinya hanya penuh dengan hammud dun_ya, kepentingan dan urusan keduniaan. Tak tersisa lagi ruang untuk pahala yang akan membangun rumah akhiratnya. Hatinya mengeras dan sesak dengan tujuan-tujuan dan harapan-harapan dunia. Hatinya sakit. Tak bisa lagi menimbang dan memilih antara dunia penuh ujian dan fana dengan akhirat yang penuh nikmat dan selamanya. Bahkan, hatinya menjadi mati rasa, tuli dan tak peka.
Well, akhirnya aku merasa butuh waktu sejenak untuk menyeimbangkan antara logika dan intuisi dalam menyikapi sebuah persoalan sosial ini.  Aku ingin mencoba menimbang kebaikan antara memberi pengemis atau menahan harta dari mereka.  
Menimbang manfaat dan mudharat memberi pada pengemis;
Manfaat;
1.       Tetap akan mendapatkan pahala shadaqah, karena satu kebaikan akan dilipat gandakan hingga 10 kali lipat. Bahkan lebih pada memberi bantuan kepada yang membutuhkan sedankan hal tersebut akan membawa bantuan Allah saat aku membutuhkan.
2.       membebaskan seudaraku dari kesempitan hidup di dunia akan menjadi sebab Allah membebaskanku dari kesempitan akhirat.
3.       Melembutkan jiwaku yang keras tersebab dosa dan kekikiran, bahkan menjadi tolak ukur kuwalitas keimananku.
4.       Pasti akan Allah ganti berapapun yang kukeluarkan, bahkan berkali-kali lebih baik sebab apa yang di sisi Allah itulah yang paling baik dan kekal. 
5.       Bagi si pengemis, barangkali bisa memberi manfaat lebih, bahkan bisa menjadi
Akhirnya, pada kesempatan ini, aku ingin menyimpulkan beberapa hal;
Yang pertama, bahwa selamanya tetap tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.
Yang kedua, jika memang kita berat memberi pada pengemis demi memberi mereka pelajaran untuk berusaha, baiknya tidak memukul rata semua pengemis adalah pemalas. Liat dan timbang-timbanglah, apakah dia benar-benar mebutuhkan uluran tangan tau tidak. Satu hal, kekhwatiran untuk salah memberi atau memberi pada orang yang salah adalah salah satu penyebab kekikiran.
Yang ketiga, kepekaan hati kita adalah bukti kelembutannya
Yang keempat, kelembutan hati adalah bukti keimanannya
Yang kelima, penyakit itu bukannya hanya menjadi pengemis, tapi ketika ada pengemis di hadapan kita dan kita enggan memberinya serta beralasan untuk menutupinya.
Sekian dulu kisah ini aku tuliskan, barangkali ini hanya sekedar curhatan, tapi kuharap akan membawa manfaat dan kebaikan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan isi komentar antum antunna di sini: