AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Selasa, 18 Februari 2014

Sejenak Merenung di bawah Lampu Merah Simpang Sei Panas



Bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....

............ (kembali merenungkan fitrah kelembutan jiwa manusia)

Setiap saat ketika kita berhenti di lampu merah simpang mana pun di kota-kota besar, kita akan disuguhi pemandangan mengiris hati. Satu pemandangan yang menurutku menciderai kemanusiaan terlebih bagi sebuah bangsa yang menjunjung tinggi hak-hak dan nilai-nilai keadilan sosial. Pemandangan yang menampakkan sebuah potret satu golongan manusia yang ‘termarjinalkan’.
Kita dapat melihat sendiri lampu merah jalan raya kota kita menjadi ‘basis’ golongan orang-orang tersebut dengan berbagai macam status; pedagang asongan, penjaja koran, pengamen, preman, anak-anak jalanan dan tentu juga para peminta-minta, dari balita hingga yang sudah tua renta. Lampu merah seakan menjadi ‘wahana’ keseharian paling indah bagi mereka dan tentu juga karena menjadi ‘lahan’ paling strategis untuk menyambung hidup mereka dan keluarga.

Iya. Adalah sebuah permakluman bagi kita semua, bahwa simpang lampu merah sering menjadi tempat ‘operasi’ para pengemis yang mencari ‘penghasilan’ dari meminta-minta pada setiap pengendara yang berhenti di sana. Pengemis dengan berbagai penampilan yang seringkali tampak sengaja dibuat se-menyedihkan dan se-memprihatin-kan mungkin bagi yang melihatnya sehingga tergerak hati untuk berbagi sebagian rezeki.

Semua pemandangan itulah yang menjadi sebuah fenomena yang membangkitkan jiwa ‘sok pahlawan’ ku untuk ‘sok’ _juga_ memikirkan dan menuliskan sedikit tentang mereka disini. Tidak, bukan hanya tentang mereka, tapi juga tentang kita yang masih memiliki status kemanusiaan.

Sore itu, aku terburu-buru menuju Batam Centre dengan Cessey kesayanganku. Di tengah perjalanan aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana jika aku terlambat. Acara ini adalah acara penting yang menyangkut profesi dan eksistensiku. Sedangkan waktu yang kumiliki saat itu hanya 10 menit lagi. Ah, aku juga harus melewati 3 lampu merah dan itu sungguh ‘memangkas’ sisa waktu yang kumiliki.

Tanpa banyak mikir dan pertimbangan lagi, aku memacu motor 125cc keluaran Honda itu dengan kecepatan penuh. Resiko kecelakaan tentu lebih besar, tapi menurutku masih jauh lebih kecil dari kepentinganku saat itu. Toh, aku juga sudah berkali-kali membaca doa menaiki kendaraan yang selalu menjadi penenangku saat berkendara dan terburu-buru.

Sesampainya di simpang pertama, Simpang Jam Awal Bros namanya, aku terlambat beberapa detik dari lampu hijau sehingga memaksaku berhenti karena lampu merah sudah ‘melotot’ seperti nyonya besar galak, bosku, jika sedang marah. Aku bergidik dan mengurungkan niat untuk menerobos. Bahayanya tentu hampir sama dengan tatapan mata nyonya tua pemarah itu. Bedanya tipis aja.

Aku berhenti sebelum garis penyebrangan, di antara dua mobil mulus di kanan-kiriku. Sebelah kananku mobil Toyoto Fortuner TRD Sportivo keluaran terbaru, sebelah kiriku Mazda CX5 keluaran 2013 akhir. Tentu aku tak mau sedikitpun menyenggol dua mobil itu apalagi sampai menggoresnya dengan motor yang kukendarai. Melirikpun aku tak berani. Aku maju setengah meter di depan kedua mobil mewah itu. Dan akhirnya aku melihat pemandangan yang ingin kuceritakan ini...

Seorang bapak tua yang duduk di pembatas jalan di bawah lampu merah. Wajahnya lusuh pakaiannya kusam. Hm, maaf terbalik, seharusnya wajahnya kusam pakaiannya lusuh. Memang, wajah dan pakaian sering melahirkan gambaran keserasian.

Usia bapak itu terlihat jelas lewat warna dan keriput kulitnya. Aku melihatnya sudah 60 lebih, bisa juga lebih muda, aku sering menemukan bahwa kerasnya hidup memang membuat wajah siapa pun lebih tua dari usianya.

Bapak tua pengemis itu sesekali menerawang ke arah aspal, sesekali menatap melas pada barisan pengendara. Dia sendiri. Entah dari mana dan sejak kapan dia di sini. Dengan gayung bekas berisi beberapa recehan yang sesekali dia hentakkan untuk menyampaikan maksudnya meminta. Aku yakin, dia pasti berat mengatakan “kasihanilah saya pak...” atau yang sejenisnya, aku juga yakin dia malu duduk di sana.

Sekilas aku langsung ingat kakekku karena bapak tua itu. Bukan, bukan karena mirip. Tak ada kemiripan sedikitpun pada orang tua itu, terlebih kakek sangat pantang meminta bahkan meskipun kepada anaknya sendiri, ayahku. Apalagi sampai duduk di sana seperti itu. Kakek bahkan masih bekerja keras di sawah kami hingga beliau kembali kepada Allah swt di usia 98 tahun lebih 3 bulan.

Entah karena apa bapak tua itu mengingatkanku pada kakek, sepertinya raut tuanya itulah yang lebih dekat untuk mengingatkan. Ya, orang tua itu terlihat sama tua seperti kakek saat beliau meninggalkan kami untuk selamanya. Oiya, satu lagi, peci putihnya, hanya saja yang dia pakai sedikit lebih kusam dari yang biasa kakek pakai.

Tiba-tiba saja aku sangat kasihan sama bapak tua itu. Bisa jadi dia belum makan siang menjelang sore ini, atau malah dari sejak pagi dia belum sarapan. Entahlah, aku benar-benar merasa iba. Hatiku berontak. Meronta memohon kepada egoku untuk berbelas kasih memberinya sebagian yang kumiliki, sedikit saja. Ego dan logikaku bersekongkol. Beberapa saat terjadi ‘perang’ sengit di dalam diriku. Antara hati nurani yang perasa dan logika yang penuh alasan dan didukung ego.

Ah... kelamaan. Aku harus mengikuti kata hati. kuputuskan merogoh 10 ribuan yang sebelumnya memang sudah ada di saku jaketku lalu mencoba meminggirkan motorku, sedikit di depan Mazda CX5 yang sebelumnya berada di sebelah kiriku. Sial, lampu kuning menyala, 5 detik kemudian lampu hijaunya seakan tak mau ketinggalan. Praktis, sang mazda mulus dengan lantang berteriak-teriak memekakkan telinga. Aku terkejut dan mengurungkan niatku, lalu bergegas memacu motor kembali membawa rasa iba, kasihan, penasaran, terkejut dan tentu rasa kesal yang muncul secara bersamaan.

Semua perasaanku saat itu bercampur aduk, ditambah kekhawatiran datang terlambat yang tentu menjadi masalah awal yang telah aku bawa sejak keluar dari rumah tadi. Tapi, kenyataan sekarang bapak tua pengemis itu lebih banyak mengambil porsi fikiranku. Sepanjang perjalanan dari simpang jam ke simpang sei panas aku tak bisa fokus dengan semua perasaan itu. Lagi-lagi aku dikejutkan sebuah mobil yang berhenti mendadak di depanku. Aiiiihh..... benar-benar, aku hampir jatuh karena ban belakang motorku sampai ‘ngepot’ ketika tak sadar sudah menginjak pedal rem dengan kuat, beruntung cesseyku sudah terbiasaa kuperlakukan seperti itu dan aku tentu bisa menjaga keseimbangan kembali.

Tak terasa, beberapa saat kemudian aku sudah kembali dihentikan oleh pelototan lampu merah di dua sisi jalan yang aku lalui. Artinya tentu aku harus berhenti. Jika tidak, tentu semua kemungkinan buruk akan terjadi. Di situlah aku meluai menemukan kembali indahnya suara hati nurani. Aku harus kembali. Biarlah, pokoknya aku harus kembali. Selama perjalanan dari lampu merah simpang jam sampai lampu merah sei panas, aku tak henti menyalahkan diri. Kenapa aku harus berpikir dan menunggu lama untuk memberi. Pokoknya aku harus kembali.

Dua lampu merah yang terlihat nanar terasa begitu lama melotot. Keduanya tak berkedip selama 4 menit ke arah setiap pengendara yang berhenti sebalum garis penyebrangan. Tentu, sekali berkedip entah karena alasan debu jalanan atau asap kendaraan, akan membuat kekacauan di titik rawan ini. Ya, satu sisi mereka sangat berjasa. Whatever. Aku pun masih sibuk dengan pertanyaan sekaligus harapan orang tua itu masih di sana.

Ah, betapa diriku tak punya hati jika sampai aku tak mau berbagi dengannya. Betapa keimananku harus dipertanyakan jika hari ini aku tak mampu menyedekahi setiap ruas 360 sendi-sendiku yang memang harus disedekahi setiap hari untuk setiap sendinya. Apapun alasan yang menghalangiku tadi, sungguh tak bisa kupertanggung jawabkan apakah memang itu kebenaran atau sekedar alasan dari keegoan.

Lampu merah ini, juga barangkali setiap lampu merah di kota ini, mungkin juga setiap lampu merah di kota-kota besar negeri ini, menjadi saksi bagaimana perubahan sebuah bangsa yang memiliki filosofi dan landasan bangsa yang mulia, ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’, sudah berubah menjadi kemanusiaan yang egois dan ‘buta-tuli’ mata hatinya. Bukan karena mereka makhluk yang tak bermata dan bertelinga, tapi karena mereka menutupnya.

Contohnya, pengendara mobil Mazda CX5 tadi. Dia bahkan tidak sabar untuk memberi kesempatan orang lain berbuat baik. Apa susahnya melihat orang lain berbagi dengan yang membutuhkan. Apa buruknya memberi (hanya) beberapa detik (tentu tak sampai bermenit-menit) untuk orang lain yang membutuhkan bantuan dan ingin memberi bantuan. Tidak, mereka bukan tak mengerti bahwa itu adalah sebuah kemuliaan dan sedikitpun bukan keburukan. Tapi justru karena kerasnya hati mereka yang tertutup egoisme bentukan manusia-manusia materialisme hedonis zaman yang katanya modern. Ya, manusia hedonis materialis selalu berhati keras dan sombong, pelit dan egois.

Andai saja, setiap pengendara yang lewat (yang setiap hari jumlahnya ribuan) memiliki semangat berbagi yang tulus, mereka tidak akan banyak berkomentar tentang para pengemis. Toh sekaya-kayanya seorang pengemis tak akan lebih kaya dari yang memberinya bukan? Dan yang pasti, tidak akan ada pengemis yang masih mengemis lagi jika memang mereka menjadi kaya karena mengemis. Siapa sih yang punya cita-cita sebagai pengemis? Tak pernah ada. karena dari dulu, mengemis adalah sebuah ‘penyakit’ yang semua orang, semua bangsa, semua manusia tak mau mengidapnya.

Sebuah bangsa yang masih memiliki pengemis, adalah bangsa yang memiliki dua macam penyakit; Penyakit ‘tak bermatabat’nya si pengemis yang tak memiliki ‘ilmu’ dan kemauan untuk bekerja dan berpenghasilan, dan penyakit si kaya yang tak mau bermurah hati berbagi kekayaan.

Tentu bukan tugas kita untuk membenci, mencaci, ataupun menyalahkan. Akan tetapi yang harus kita lakukan adalah mengasihi, mengajarkan dan membetulkan. Bukan salah satu dari keduanya, tapi keduanya sekaligus dengan cara dan porsi yang tepat untuk masing-masingnya.

Lampu merah berkedip. Berganti kuning lalu biru secara beruntun. Semua kendaraan tanpa dikomando bergerak dengan otomatis. Aku mengambil kanan dan memutar di lampu merah itu setelah bisa melewati 3 mobil yang sebelumnya menutup jalan di depanku. Aku tancap gas lagi berharap tidak terlambat. Alhamdulillaah!! Bapak tua itu masih di sana. Aku senang dan puas. Sebuah kesenangan dan kepuasan yang susah kujelaskan. Barangkali ini yang biasa orang sebut keindahan berbagi.

Sesampainya di tempat bapak itu, aku langsung melemparkan lembar 10 ribuan yang telah aku siapkan sejak tadi. Bapak tua menyeringai, dengan penuh girang dan semangat dia berterimakasih kepadaku. Tatapannya, begitu mengharukan. Seakan aku telah memberikannya sesuatu yang begitu berharga untuknya. Sebuah tatapan yang penuh dengan kejujuran dan ketulusan, juga kesederhanaan.

Bapak tua itu kembali menunduk memperhatikan gayungnya. Sekilas aku melihat dua sudut matanya tampak berkaca. “Duh, apakah dia menangis?!” gumamku dalam hati. Tidak aku harap jangan. Aku meliriknya lagi, ah! Akhirnya air matanya jatuh sebutir. Dia benar-benar menangis. Sadar aku memperhatikannya, ia mengangkat kepala lalu dengan mata berkaca ia berkata;

“Terimakasih banyak nak, semoga rezekimu dilipat gandakan, dan semoga uang ini cukup untuk makanku dan istriku hari ini!” katanya dengan suara yang tertahan. Ya Allah! Dia punya istri.

Hatiku bergetar mendengarnya. Aku tercekat seketika. Segera kurogoh kembali saku jaketku, barangkali ada lembaran rupiah lain di sana. Ternyata tidak ada. Maka aku pun langsung mengambil dompetku di saku celana belakang. Rasanya masih ada uang di dompet. Ternyata hanya tinggal dua lembar 50 ribuan, 5 ringgit, 5 dolar singapur dan selembar ribuan. Dua mata uang asing dan selembar ribuan itu tidak mungkin aku berikan sebab ketiga-tiganya adalah kenang-kenangan. Maka tanpa pikir panjang lagi, aku tarik satu lembar 50 ribuan lalu menaruhnya lagi di gayung bapak tua. Andai saja, aku tak harus beli bensin dan bayar tools kegiatan lagi hari itu, tentu aku akan berikan kedua-duanya. Aku harap, uang itu bisa banyak berguna bagi bapak tua. Yah, setidaknya untuk hari itu.

Bapak tua tak henti-hentinya berterima kasih kepadaku. Dengan segala perasaan haru yang memenuhi dada hingga kerongkongan, aku hanya mampu menjawabnya sekali, lidahku kaku mulutku bisu. Barangkali karena terlalu terbawa suasana, atau karena belum terbiasa. Maklum saja, itu adalah moment yang pertama kali aku rasakan. Indah dan nikmatnya berbagi dengan yang membutuhkan. Keindahan dan kenikmatan yang tak akan mungkin dirasakan oleh orang-orang egois dan individualis alias bakhil bin kikir yang dengan rapat menutup mata dan telinga mereka dari orang-orang seperti si bapak tua yang susah payah menyambung hidup dari tepi jalan persimpangan.

50 ribu rupiah barangkali akan habis dalam satu kali duduk di cafe atau foodcourt untuk orang-orang kaya seperti pemilik Mazda CX5 tadi, namun tentu tidak bagi bapak tua pengemis, itu adalah nominal yang besar baginya. Dan aku harap uang itu menjadi benar-benar bermanfaat dan barokah bagi beliau dan keluarga. Terserah apapun manfaatnya, yang penting untuk kebaikan. Entah buat makan, atau buat beli pulsa, atau buat beli baju, oleh-oleh untuk cucu, belanja di pasar seken, atau untuk beli mobil atau rumah sekalian aku tak perduli. Aku hanya ingin berbagi. Lagi pula, 50 ribu rupiah aku yakin tak mungkin untuk beli mobil apalagi rumah. 

Lampu merah kembali padam, berganti lampu kuning lalu hijau yang selalu tampak menyejukkan bagi para pengendara yang mayoritas adalah para pekerja yang kelelahan sehabis menunaikan pekerjaan harian.

Aku kembali memacu 'cessey'ku dengan tenang. Tak ada lagi beban kekhawatiran atau pun takut terlambat. Sebab aku yakin aku sudah terlambat. Dan memang, terkadang kemungkinan terwujudnya harapan memberi beban lebih bagi orang-orang yang takut akan kegagalan. Padahal, seringkali harapan itu sendiri tak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga hidup dengan beban harapan termasuk dalam panjang angan-angan dan kesia-siaan ...... (terpotong dulu, ntara kalo ada waktu bersambung lagi... ) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan isi komentar antum antunna di sini: