AHLAN WA SAHLAN HUNAA....

Rabu, 24 Juni 2015

Gagasan Islam Nusantara, Gagasan Pemikiran Bingung

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....


Gagasan Islam Nusantara, Gagasan Pemikiran Bingung
Oleh: Imam Gazali

Belakangan ini ramai dibicarakan masyarakat tentang Islam Nusantara. Sebutan baru yang mendapatkan ruang popularitas di era pemerintahan ‘terbaru’ di Indonesia. Sebuah istilah yang katanya sudah lama tergagas oleh salah satu tokoh Ormas pelopor Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Nahdhatul Ulama di negeri Nusantara, namun tiba-tiba menjadi sangat terkenal sejak dijadikan sebuah tema dalam Muktamar ke-33 Organisasi tersebut di Jawa Timur.

Popularitasnya semakin tersohor setelah menjadi wacana penting yang disuarakan lewat corong kepresidenan dan wakilnya dalam banyak kesempatan. Terakhir, sekaligus menjadi klimaks perdebatan dan polemik dikalangan masyarakat, orang nomor satu Indonesia tersebut menyinggungnya pada pidato Presiden dalam acara Munas Alim Ulama NU dan Menyambut Ramadhan 1436 H/2015 M.

Pidato itu pula yang menjadi pendorong penulis untuk menuliskan artikel sederhana ini dalam rangka mempertanyakan sekaligus mengoreksi, benarkah kita betul-betul butuh istilah ini? Benar-benar haruskah bangsa ini _yang sejak awal mula penerimaannya terhadap Islam tidak pernah merasa kurang dengan hanya satu nama sehingga menuntut untuk ditambah Nusantara dibelakangnya_ menggunakan Istilah yang disponsori ‘pemerintahan baru’ ini?

Sekedar bernostalgia di masa lalu, saat penulis masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah dikampung, setiap kali ingin memulai pelajaran kami membaca doa “Radhitu billaahi Rabban, wa bil Islami dinan...”, tidak pernah sekali pun kami diajarkan “... wa bil Islami Nusantara dinan...” meskipun orang tua dan guru-guru kami adalah orang NU. Doa itu terus diajarkan oleh ayah-ayah, ibu-ibu, ustadz/h, guru-guru surau dan pesantren-pesantren hingga pemerintahan sebelum pemerintahan terkhir. Entah pada masa pemerintahan ini, masihkah doanya seperti itu atau sudah ada nusantaranya.

Baiklah, mari kita sedikit membahas lebih jauh tentang Islam Nusantara tersebut, apa dan bagaimana sebenarnya?

Terus terang hingga saat tulisan ini ditulis, penulis masih bingung dan gagal paham apa makna dan tujuan yang dimaksud dengan istilah Islam Nusantara. Tersebab keterbatasan penulis sendiri dan banyaknya definisi serta penjabaran yang belum secara tuntas mendefinisikan dan menjabarkannya.

Oleh karena itu, demi sebagai perbandingan baiknya penulis kutip penjelasan para penggagasnya saja sebagai barikut.

Merujuk pada apa yang dipaparkan bapak Presiden, seperti dilansir Eramuslim.com, Islam Nusantara adalah Islam yang penuh sopan santun, tata krama dan toleransi.

“Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, Itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.” – Joko Widodo, Eramuslim.com edisi Rabu, 1 Ramadhan 1436 / 17 Juni 2015.

Sedangkan menurut Azyumardi Azra, Islam Nusantara yang dimaksud adalah ‘Islam yang berbunga-bunga’ (Flowery Islam), dengan ritual-ritual seperti tahlilan, nyekar (ziarah kubur dengan menabur bunga), walimatus safar, khitanan, tasyakkuran, empat bulanan, tujuh bulanan kehamilan dan lain sebagainya yang ada di Nusantara. (Republika, 18 juni 2015)

Satu definis lagi untuk Islam nusantara dari salah satu pendukung model gagasan ini, dia menjelaskan bahwa Islam Nusantara bermaksud ‘hanya’ sebagai proses eskavasi arkeologi ilmu pengetahuan dengan mempelajari karya-karya ulama Nusantara, namun tetap mengkaji karya ulama lintas teritorial dan zaman.

Dan masih banyak lagi definisi-definisi lain yang secara substansi dan maknanya berbeda dengan definisi-definisi di atas namun sebab berbagai keterbatasan tidak bisa penulis sebutkan dalam kesempatan ini.

Tentu saja, aneka ragam definisi yang ada ini membuat penulis bertanya-tanya, bagaimana bisa sebuah istilah yang belum disepakati dan dipahami jami’ dan mani’nya itu bisa menjadi sebuah tema dan wacana Nasional? Apakah hanya untuk model ‘try and error’ seperti kebiasaannya atau memang sengaja dibuat demikian demi menciptakan polemik yang juga tidak dapat dipertanggung jawabkan?

Tentu saja, pada kenyataannya tujuan terakhir lebih mendekati hakikat dan maksud istilah yang diada-adakan ini; Menciptakan polemik dikalangan masyarakat, baik dikalangan para pemikir maupun masyarakat awam.

Di kalangan pemikir akan menjadi matapicu perdebatan yang akan memecah belah dan tidak berujung, sedangkan di masyarakat awam menjadi akar masalah yang berujung pada sikap rasis dan mendiskreditkan bangsa lain selain pribumi Nusantara.

Sebab secara otomatis, ketika menyebut Islam Nusantara harus ada Islam Non Nusantara sebagai lawan kata dari Istilah tersebut.

Ketika menyebutkan Islam Nusantara sebagai Islam yang sopan santun, penuh tata krama dan toleransi, anak SD saja sudah paham sejak baru mendaftar sekolah bahwa Islam tanpa kata Nusantara juga demikian. Adakah Islam non Nusantara tidak demikian?

 Jika dipertegas lagi, ketika mendifinisikan Islam Nusantara adalah Islam yang lembut, sopan, penuh tatakrama dan toleransi secara tidak langsung menyatakan Islam non Nusantara tidak lembut, tidak lembut, tidak sopan, dan tidak toleran.

Jika menyebutkan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang berwarna dengan ritual-ritual yang disebut di atas, maka secara otomatis yang tidak menerima ritual-ritual tersebut sebagai ritual Islam tidak termasuk bagian dari Islam Nusantara alias non Nusantara, lalu Muhammadiyah dan Persatuan Islam Islam apa? Padahal dua organisasi tersebut adalah seakar dan serumpun dengan NU serta senasib seperjuangan dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Jika menyebutkan Islam Nusantara sebagai proses penelusuran ilmu pengetahuan dari karya-karya ulama Nusantara, maka itu adalah hal yang kata anak sekarang ‘alay’. Sebab mereka, guru-guru dan pejuang-pejuang Islam Nusantara itu tidak pernah menyebut apa yang mereka perjuangkan adalah Islam Nusantara.

Dan satu catatan penting, fakta dan penerapan istilah Islam Nusantara yang dimaksud tidak sesederhana dan sesempit mencari dan menghimpun karya-karya ulama Nusantara.

Setelah pemikiran panjang, penulis menyimpulkan bahwa gagasan model Islam Nusantara adalah gagasan pemikiran orang bingung. Kebingungan yang entah dari mana, apakah karena keterbatasan pengetahuan penggagas dan pengusungnya akan Islam, ataukah karena bingung membuat celah merusak ke-Otentik-an dan kemurnian Islam itu sendiri.

Terkait hal perusakan kemurnian Islam yang dimaksud, penulis mengambil kesimpulan dari jejak rekam peristiwa-peristiwa dalam negeri yang seringkali mengarah kepada hal demikian sejak awal bermulanya pemerintahan. Dimulai dari polemik status agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), pembacaan Alquran dengan langgam jawa, wacana menghormati orang yang tidak berpuasa Ramadhan, hingga pelarangan memutar kaseh ngaji Alquran yang dinilai polusi. Wallahul Musta’an.

Terlebih, justru dengan diwacanakannya Islam Nusantara ini, tidak ada kebaikan yang didapat namun di sisi yang berlawanan kemudharatannya sangat banyak sehingga tidak heran jika Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Riziq Sihab, menuliskan istilah ini sebagai istilah yang sesat lagi menyesatkan serta 8 bantahannya di situs suaraislam.com seperti dilansir Eramuslim.com edisi Rabu 17 Juni 2015.

Akhirnya, dengan segenap hati penulis berharap agar istilah Islam Nusantara ini segera dihapuskan, atau setidaknya diperjelas dan disepakati terlebih dahulu maksud dan tujuannya, agar segala polemik, perdebatan dan keresahan di masayarakat segera mereda tanpa adanya berbagai prasangka yang tersisa.  Wallahul muwaffiq Ilaa Aqwamitthariq.
sile bace lengkapnye >>

Rabu, 10 Juni 2015

Tak Harus Memiliki

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....


Tak Harus Memiliki.

Aku telah terbiasa mencintai tanpa memiliki
Aku telah terbiasa mengagumi tanpa mengakui
Lantas, mengapa kau begitu khawatir kepadaku?
mengapa kau begitu takut menyakitiku?
Atau kau terlalu ngeri menjadi milikku...
Lihatlah, setiap pagi aku mencintai mentari
Tak pernah sekalipun aku membungkusnya untuk diriku sendiri...
Bahkan mengaku ia hanya milikku aku tak berani
Lalu mengapa kau begitu resah?
Ataukah hanya sangkaanku yang salah...
Tidak, tetaplah di situ... tetaplah dalam kehidupanmu
Aku di sini saja.. dengan potongan hati ini... dengan sejumput cinta ini... dengan selaksa rindu ini...
Menikmatinya seperti makan malam paling sempurna setiap malam...
Aku akan tetap di sini dengan perasaanku
tak akan mengganggumu....

sile bace lengkapnye >>

Sabtu, 06 Juni 2015

"KEBENARAN MUTLAK HANYA MILIK TUHAN?"

bacalah DENGAN NAMA Tuhanmu....


Bagi yang meyakini tentang Allah swt dan sifat-sifatNya yang Maha segala-galanya, tentu tidak akan menyangkal pernyataan “kebenaran mutlak hanya milik Allah swt”

Namun satu hal yang perlu dipertanyakan; untuk apa kalimat itu diucapkan? Adakah ia justru menjadi pelarian seseorang dari kebenaran itu sendiri, dengan berindung dibalik “kebenaran-kebenaran” yang ia inginkan?

Hemat saya, kalimat itu sangat biasa. Tidak perlu dijadikan teori. Toh apa hebatnya? Kedengarannya pun biasa-biasa aja. Anak-anak TK pun sudah biasa dengan pernyataan itu.

Biasanya, kalimat tersebut selalu diiringi kalimat lain sebelum atau sesudahnya, seperti; “kebenaran itu relatif, kebenaran mutlak hanya milik Allah.”

Sekarang mari kita kembali pertanyakan lagi, Benarkah kebenaran itu relatif?

Jawabannya adalah tidak. Kebenaran selalu dan akan terus bersifat mutlak.

Kebenaran adalah benar, betapapun seseorang melihatnya salah, atau sebaliknya kesalahan atau kebatilan adalah salah, betapapun seseorang melihatnya benar.

Akal manusia sangat tidak sanggup untuk menggapai semua hakikat, dan ketika ia menemukan kebenaran itu sendiri _lagi-lagi karena keterbatasannya_ ia pun masih bisa ragu kembali apakah kebenaran yang ia temukan itu adalah benar-benar benar seperti halnya yang ia harapkan.

Di sinilah pentingnya mengkolaborasikan kebenaran yang dicapai akal dengan kebenaran yang ditetapkan oleh wahyu dari yang Maha Benar demi mencapai hakikat-hakikat kebenaran itu sendiri.

 Cara berpikir akal manusia memang relatif, sehingga sangkaan- sangkaan kebenaran yang dihasilkan dari persepektifnya bisa saja bersifat relatif pula.

Namun harus menjadi sebuah catatan penting bahwa; kebenaran adalah hal lain persepektif atau cara pandang adalah hal lain.
Keduanya berbeda dan harus dibedakan.

Kebenaran itu adalah wujud seperti halnya kebatilan. Keduanya adalah nyata meski tidak bisa kita jismi kan seperti halnya benda-benda. Sama seperti wujudnya kebaikan, keburukan, kejahatan dan benda-benda maknawi lainnya. Sedangkan cara pandang sendiri, adalah cara dan sudut seseorang itu melihat wujud kebenaran. Jelas, yang satu tidak bisa mewakili/diwakili yang lainnya.

Relatifitas cara pandang dan berpikir akal serta keterbatasannya untuk mencapai semua hakikat bukan lantas berarti bahwa akal selamanya tidak akan bisa menemukan kebenaran sama sekali, sebab Allah swt dengan sifatnya yang Maha Rahim telah memberikan garis-garis dan rambu-rambu kepada kebenaran tersebut lewat ayat-ayatNya yang Naqli dan Aqli.

Oleh karena itu, Allah swt secara tegas menenangkan orang-orang beriman dalam ayatNya; “Kebenaran (Al Haq) itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi orang yang ragu.” Maksudnya, memang kebenaran itu hanya milik Allah swt., namun Allah swt pun dengan kehendaknya menganugerahkan kebenaran itu kepada manusia lewat wahyu yang diturunkanNya. Apakah kamu ragu dengan hal itu?

Inilah beda dan hebatnya cara berpikir seorang muslim, dia tidak akan sama _kecuali yang sok-sok menyamakan diri_ dengan orang-orang yang mengaku beragama namun secara bersamaan membenci dan menolak ayat-ayat dan syariat-syari’at agama mereka. Mereka berpikiran seperti itu karena akal mereka tidak puas dengan doktrin-doktrin yang dipaksakan agama mereka sehingga mereka pun mencari ‘alternatif’ lain dengan ‘membebaskan’ akal mereka sendiri lewat teori anak kecil yang saya sebut di atas.

‘Kecewaan’ yang mendalam terhadap logika agama mereka menjadikan mereka membedakan antara logika agama dengan logika mereka sendiri, sehingga pada akhirnya kesimpulan yang mereka ambil adalah; “beriman tanpa beragama” atau yang mereka sebut “faith without religion”, atau dalam ungkapan lain dari Naisbitt dan Patricia Aburdene; “Spirituality yes, organized religion no!” lalu di antara turunan-turunannya cara bepikirnya, “KEBENARAN RELATIF, KEBENARAN MUTLAK HANYA MILIK TUHAN!”

Namun, karena adanya memang lemah, cara berpikir orang seperti ini memiliki banyak kelemahan, di antaranya;

1. Jika kebenaran mengikut relatifitas cara bepikir setiap akal individu, maka bisa dipastikan setiap individu ‘berhak’ mengaku mendapat kebanaran dengan akalnya. Dengan kata lain, sebagai kebalikannya, setiap pemahaman lain selain yang ditemukan akalnya adalah salah. Akhirnya, tidak ada kebenaran yang benar-benar benar.  

2. Jika kebenaran mengikuti relatifitas cara berpikir akal, sekarang pertanyaannya apakah yang menjadi  ukuran kebenaran?

Lalu pertanyaan selanjutnya, kebenaran akal yang mana yang paling mendekati kebenaran itu sendiri?

Ketika semua akal sudah sepakat bahwa satu hal adalah kebenaran di suatu masa, namun ternyata di masa yang akan datang kebenaran ternyata terbukti salah, bukankah itu berarti selama tenggang waktu itu tidak ada kebenaran tentang hal tersebut? Dan manusia yang hidup di masa ke’salahpilihan’ kebenaran itu hidup dengan kebenaran yang salah?

3. Taruhlah seseorang dengan usaha yang maksimal telah berhasil mencapai titik terdekat dengan kebenaran, atau pada titik kebenaran itu sendiri, apakah akhirnya kedudukan akal orang tersebut? Di manakah posisinya dari kalimat “kebenaran mutlak” itu hanya milik Allah swt.

Akhirnya, setelah susah payah orang mendefinisikan kebenaran, ia akan bingung sendiri dengan teori kebenaran itu sendiri.

4. Jika semua hasil kebenaran dari cara berpikir akal manusia relatif dan parsial kontekstual, maka secara bersamaan cara berpikir semacam itu pun tidak bisa diterima. Sebab, teori tersebut pun pasti muncul dari pemikiran akal seseorang, sehingga individu lain berhak menolaknya sebagai pedoman dalam teori menghasilkan kebenaran.

Barangkali cukup sekian saja dulu, ‘jalan-jalan’nya, lain kali kita sambung lagi. Selamat rehat

Saudaramu, Imam Gazali.
sile bace lengkapnye >>